Monday, April 27, 2015

Jombang Utara Yang Strategis Dan Pengalaman Pahit Dengan Industri Kapitalis

Saya tinggal di Jombang selama 5-7 tahun ini, tepatnya di kawasan Jombang Utara. Kawasan utara ini memang menarik karena menghubungkan dua jalur utama distribusi. Pertama, ada jalur menuju pusat pemerintahan dan pelabuhan Jawa Timur, yaitu Surabaya. Yang kedua, ada jalur yang menghubungkan jalur distribusi darat pulau Jawa, yaitu jalur Pantura. Tak heran, bila suatu saat orang-orang akan mencium Jombang sebagai daerah strategis untuk tujuan ekonomi.

Hal itulah yang mendasari Jombang untuk segera berbenah diri untuk menyambut para pemilik modal untuk menanamkan modalnya di kawasan utara Jombang, meskipun pada kenyataannya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah daerah sangat lamban. Kemudian hal ini menjadi pertanyaan, apakah seluruh masyarakat tahu akan ada rencana seperti ini? Dan bagaimana warga Jombang Utara menyambutnya?

Sebagian orang-orang yang saya kenal menyambutnya dengan gembira, sebagian lagi tak tahu soal tersebut. Apakah ini pertanda buruk? Entahlah. Namun yang pasti jika belajar pada saudara Jombang yang di sebelah timur, dampak menjadi kawasan industri ada berbagai macam. Atau mungkin jika ditarik lebih jauh kawasan industri yang jika tidak dikawal dengan benar bisa seperti terjadi tindakan ngawur seperti yang dilakukan pabrik semen di Rembang. Atau mungkin seperti Freeport yang mengkhianati pekerjanya.

Jika melihat pengalaman Freeport orang-orang yang diuntungkan hanya sebagian kecil, yaitu tuan-tuan pemilik modal yang di luar negeri. Bisa kita lihat dalam film Alkinemokiye, dimana yang dirugikan adalah kaum pekerja. Mulai dari rumah tinggal yang buruk, upah yang tidak cukup, sistem pangkat yang tak adil, dan dana pensiun dan saham pekerja yang dikhianati, tak pernah bisa dicairkan.

Jika melihat pengalaman Rembang, pihak Semen ngotot ingin meneruskan pembangunan pabrik meskipun banyak bukti cacat hukum, bukti lingkungan yang tak sepatutnya dieksploitasi, menghilangkan lapangan pekerjaan masyarakat dan bahkan pengadilan meloloskan mereka untuk meneruskan pembangunan pabrik semen.

Jika melihat pengalaman pabrik semen di Tuban, bagaimana pabrik mengkhianati janji mereka untuk membuka lapangan pekerjaan kepada orang-orang yang dibeli lahan pekerjaannya sebagai tani. Mereka berjanji di awal akan membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang direbut lahan pertaniannya ini, namun kenyataannya mereka dibiarkan hidup dengan kehilangan pekerjaannya. Kisah Rembang dan Tuban ini bisa dilihat dalam film Samin vs Semen.

Jika melihat pengalaman isu reklamasi Teluk Benoa di Bali, kita akan melihat hal yang sama. Para pemilik modal atau para investor seringkali bermulut manis pada awalnya agar tidak terlihat seperti orang yang akan merebut lahan pencarian nafkah, dalam hal ini para nelayan. Ini terlihat jelas dalam film Kala Benoa.

Jika melihat pengalaman di saudara Jombang kawasan timur, hal-hal nyata yang terjadi pada lingkungan sosial adalah meningkatnya angka kriminalitas di kawasan industri. Ini bisa dilihat bagaimana surat kabar hampir setiap hari mengabarkan peristiwa kriminal di kawasan timur Jombang.

Semua pengalaman pahit ini bertambah pahit dan sama-sama terjadi nyata ketika aparatur negara bergerak di posisi sebagai preman yang membungkam protes rakyat-rakyat kecil yang tidak disenangi tuan pemilik modal. Bahkan posisi negara tidak menjadi tuan di rumah sendiri yang membela rakyatnya, tapi menjadi babu-babu, bodyguard, preman-preman para investor pemilik modal yang kemanusiaannya dipertanyakan.

Jadi, apakah Jombang Utara sudah mengerti dengan resiko-resiko seperti ini?

**Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia belum pernah mendapat pendidikan formal.

Monday, April 20, 2015

Kasus Pembunuhan Remaja: Sebuah Refleksi Kurangnya Akses Pendidikan

Jombang dikejutkan dengan sebuah kasus pembunuhan seorang siswa laki-laki sekolah menengah atas yang kejam. Polisi pun kali ini bergerak cepat dan langsung menemukan pembunuhnya yang usianya tak jauh beda dengan korbannya. Motifnya pun sepele, hanya karena telah ditipu oleh sang korban-yang ternyata kekasih si terdakwa- tentang identitas sang korban yang bukan perempuan alias laki-laki. Bagaimana bisa hanya karena sepele, seseorang bisa kehilangan nyawanya?

Baiklah, memang sering ditemui kematian seseorang karena amuk massa, entah karena sang korban seorang copet atau mungkin seorang begal. Ini menunjukkan bahwasanya pendidikan tentang Hak Asasi Manusia di negara kita sangat kurang. Bagaimana kepedulian kita terhadap nyawa seseorang itu sangat kurang, padahal hukum di negara kita sangat berat untuk perbuatan-perbuatan menghilangkan nyawa seseorang. Jelas negara menjamin kehidupan seseorang, tanpa disertai dengan pendidikan yang cukup.

Kita tidak menyoroti perilaku seksual korban yang "beda", toh di negara ini regulasi hukum terhadap LGBT memang masih abu-abu, apalagi jika dikaitkan dengan kaum fundamentalis agama yang sepertinya mengarah  untuk menghalalkan darah para kaum yang dipinggirkan ini. Kita menyoroti sang pembunuh dan bagaimana permasalahan ini tidak cukup dengan menangkap pembunuhnya tapi juga memberi penyuluhan ke masyarakat tentang kepedulian terhadap HAM.

Hal yang mendasar yang perlu diganti adalah sistem. Sistem sekolah yang masih terdapat banyaknya pungutan liar terhadap peserta didiknya, membuat orang-orang yang tidak mampu secara finansial tidak mendapat pendidikan yang setara. Kenyataannya memang ada tembok pemisah antara si mampu dan si tidak mampu. Ini jelas bertolak belakang dengan tugas negara ini yang secara gambalang dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa. Jadi faktanya bahwa tidak segenap bangsa ini mendapat hak untuk dicerdaskan.

**Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tak mengikuti pendidikan formal negara.

Thursday, April 9, 2015

Minimarket, Lapangan Pekerjaan Dan Studi Ilmiah

Akhir-akhir ini di surat kabar lokal tak pernah berhenti menggeber berita tentang minimarket yang belum berizin. Begitu banyak elit politik Jombang yang berkomentar dengan nada miring memojokkan pemerintah daerah yang kurang tegas. Toko kelontong kecil pun dijual sebagai alibi para elit politik ini tanpa ada bukti ilmiah yang jelas, seolah-seolah mereka menuduh saja.

Isu minimarket bodong ini sebenarnya telah lama terdengar, bahkan sering memasuki ranah sosial media seperti Twitter. Begitu keras sebuah akun anonim menyuarakan seperti suara orang-orang yang menggugat ikon Jombang di Twitter. Namun ketika saya bertanya tentang data-data, akun anonim ini tidak bisa menjawab. Dan di kemudian hari, akun anonim ini terlibat perang tweet dengan seorang mahasiswa yang juga tak mendapat jawaban dari akun anonim ini tentang data-data. Kemudian saya ikut menimpali agar supaya diadakan sebuah studi yang menyebutkan bahwa pembangunan minimarket berdampak buruk pada usaha toko kelontong. Belum ada kabar sampai sekarang, karena memang saya juga dalam posisi menggertak saat itu, jadi tak mau peduli pada akun anonim yang tak jelas.

Lalu kemudian surat kabar lokal menerbitkan berita isu tentang minimarket ini hampir setiap hari. Berusaha menekan pemerintah daerah untuk menertibkannya. Lalu saya curiga, sepertinya ada yang berkepentingan di sini. Kecurigaan ini berlanjut dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan bila minimarket yang tak berizin ini ditutup? Siapa yang dirugikan?

Hal-hal yang aneh saya temukan pada surat kabar lokal, dimana mereka menekankan tentang isu pendapatan daerah, isu tentang upeti yang diterima oleh para eksekutif daerah selain menjual kerugian oleh toko kelontong. Ketiga hal ini menurut saya tak berdasar, okelah tentang pendapatan daerah yang kurang karena bisa dibuktikan oleh pihak eksekutif. Namun tentang upeti dan toko kelontong ini yang belum ada dasar dan bukti yang jelas.

Siapa sih yang dirugikan kalau ternyata minimarket-minimarket ini ditutup? Yang jelas, yang berdampak langsung adalah para buruh, para karyawan yang bergantung hidupnya pada jalannya bisnis minimarket. Secara kasat mata, kita melihat sendiri minimarket telah menyumbang lapangan perburuhan pada anak-anak muda yang butuh kerja-upah untuk menghidupi hidup mereka.

Saya juga menekankan tidak mendukung para pemilik modal yang tidak taat ijin, saya cuma mempermasalahkan kenapa membawa isu tentang kerugian toko kelontong, tanpa ada studi ilmiah untuk mengkajinya? Hendaklah kalau membawa nama rakyat kecil harus ada bukti tentang dampak langsung ke mereka. Jangan asal menjual nama mereka layaknya barang yang bisa diperjual-belikan. Mereka tak butuh pembelaan yang semu.

*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia belum pernah menempuh pendidikan formal.