Jombang dikejutkan dengan sebuah kasus pembunuhan seorang siswa laki-laki sekolah menengah atas yang kejam. Polisi pun kali ini bergerak cepat dan langsung menemukan pembunuhnya yang usianya tak jauh beda dengan korbannya. Motifnya pun sepele, hanya karena telah ditipu oleh sang korban-yang ternyata kekasih si terdakwa- tentang identitas sang korban yang bukan perempuan alias laki-laki. Bagaimana bisa hanya karena sepele, seseorang bisa kehilangan nyawanya?
Baiklah, memang sering ditemui kematian seseorang karena amuk massa, entah karena sang korban seorang copet atau mungkin seorang begal. Ini menunjukkan bahwasanya pendidikan tentang Hak Asasi Manusia di negara kita sangat kurang. Bagaimana kepedulian kita terhadap nyawa seseorang itu sangat kurang, padahal hukum di negara kita sangat berat untuk perbuatan-perbuatan menghilangkan nyawa seseorang. Jelas negara menjamin kehidupan seseorang, tanpa disertai dengan pendidikan yang cukup.
Kita tidak menyoroti perilaku seksual korban yang "beda", toh di negara ini regulasi hukum terhadap LGBT memang masih abu-abu, apalagi jika dikaitkan dengan kaum fundamentalis agama yang sepertinya mengarah untuk menghalalkan darah para kaum yang dipinggirkan ini. Kita menyoroti sang pembunuh dan bagaimana permasalahan ini tidak cukup dengan menangkap pembunuhnya tapi juga memberi penyuluhan ke masyarakat tentang kepedulian terhadap HAM.
Hal yang mendasar yang perlu diganti adalah sistem. Sistem sekolah yang masih terdapat banyaknya pungutan liar terhadap peserta didiknya, membuat orang-orang yang tidak mampu secara finansial tidak mendapat pendidikan yang setara. Kenyataannya memang ada tembok pemisah antara si mampu dan si tidak mampu. Ini jelas bertolak belakang dengan tugas negara ini yang secara gambalang dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa. Jadi faktanya bahwa tidak segenap bangsa ini mendapat hak untuk dicerdaskan.
**Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tak mengikuti pendidikan formal negara.
Baiklah, memang sering ditemui kematian seseorang karena amuk massa, entah karena sang korban seorang copet atau mungkin seorang begal. Ini menunjukkan bahwasanya pendidikan tentang Hak Asasi Manusia di negara kita sangat kurang. Bagaimana kepedulian kita terhadap nyawa seseorang itu sangat kurang, padahal hukum di negara kita sangat berat untuk perbuatan-perbuatan menghilangkan nyawa seseorang. Jelas negara menjamin kehidupan seseorang, tanpa disertai dengan pendidikan yang cukup.
Kita tidak menyoroti perilaku seksual korban yang "beda", toh di negara ini regulasi hukum terhadap LGBT memang masih abu-abu, apalagi jika dikaitkan dengan kaum fundamentalis agama yang sepertinya mengarah untuk menghalalkan darah para kaum yang dipinggirkan ini. Kita menyoroti sang pembunuh dan bagaimana permasalahan ini tidak cukup dengan menangkap pembunuhnya tapi juga memberi penyuluhan ke masyarakat tentang kepedulian terhadap HAM.
Hal yang mendasar yang perlu diganti adalah sistem. Sistem sekolah yang masih terdapat banyaknya pungutan liar terhadap peserta didiknya, membuat orang-orang yang tidak mampu secara finansial tidak mendapat pendidikan yang setara. Kenyataannya memang ada tembok pemisah antara si mampu dan si tidak mampu. Ini jelas bertolak belakang dengan tugas negara ini yang secara gambalang dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa. Jadi faktanya bahwa tidak segenap bangsa ini mendapat hak untuk dicerdaskan.
**Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tak mengikuti pendidikan formal negara.
No comments:
Post a Comment