Akhir-akhir ini di surat kabar lokal tak pernah berhenti menggeber berita tentang minimarket yang belum berizin. Begitu banyak elit politik Jombang yang berkomentar dengan nada miring memojokkan pemerintah daerah yang kurang tegas. Toko kelontong kecil pun dijual sebagai alibi para elit politik ini tanpa ada bukti ilmiah yang jelas, seolah-seolah mereka menuduh saja.
Isu minimarket bodong ini sebenarnya telah lama terdengar, bahkan sering memasuki ranah sosial media seperti Twitter. Begitu keras sebuah akun anonim menyuarakan seperti suara orang-orang yang menggugat ikon Jombang di Twitter. Namun ketika saya bertanya tentang data-data, akun anonim ini tidak bisa menjawab. Dan di kemudian hari, akun anonim ini terlibat perang tweet dengan seorang mahasiswa yang juga tak mendapat jawaban dari akun anonim ini tentang data-data. Kemudian saya ikut menimpali agar supaya diadakan sebuah studi yang menyebutkan bahwa pembangunan minimarket berdampak buruk pada usaha toko kelontong. Belum ada kabar sampai sekarang, karena memang saya juga dalam posisi menggertak saat itu, jadi tak mau peduli pada akun anonim yang tak jelas.
Lalu kemudian surat kabar lokal menerbitkan berita isu tentang minimarket ini hampir setiap hari. Berusaha menekan pemerintah daerah untuk menertibkannya. Lalu saya curiga, sepertinya ada yang berkepentingan di sini. Kecurigaan ini berlanjut dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan bila minimarket yang tak berizin ini ditutup? Siapa yang dirugikan?
Hal-hal yang aneh saya temukan pada surat kabar lokal, dimana mereka menekankan tentang isu pendapatan daerah, isu tentang upeti yang diterima oleh para eksekutif daerah selain menjual kerugian oleh toko kelontong. Ketiga hal ini menurut saya tak berdasar, okelah tentang pendapatan daerah yang kurang karena bisa dibuktikan oleh pihak eksekutif. Namun tentang upeti dan toko kelontong ini yang belum ada dasar dan bukti yang jelas.
Siapa sih yang dirugikan kalau ternyata minimarket-minimarket ini ditutup? Yang jelas, yang berdampak langsung adalah para buruh, para karyawan yang bergantung hidupnya pada jalannya bisnis minimarket. Secara kasat mata, kita melihat sendiri minimarket telah menyumbang lapangan perburuhan pada anak-anak muda yang butuh kerja-upah untuk menghidupi hidup mereka.
Saya juga menekankan tidak mendukung para pemilik modal yang tidak taat ijin, saya cuma mempermasalahkan kenapa membawa isu tentang kerugian toko kelontong, tanpa ada studi ilmiah untuk mengkajinya? Hendaklah kalau membawa nama rakyat kecil harus ada bukti tentang dampak langsung ke mereka. Jangan asal menjual nama mereka layaknya barang yang bisa diperjual-belikan. Mereka tak butuh pembelaan yang semu.
*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia belum pernah menempuh pendidikan formal.
Isu minimarket bodong ini sebenarnya telah lama terdengar, bahkan sering memasuki ranah sosial media seperti Twitter. Begitu keras sebuah akun anonim menyuarakan seperti suara orang-orang yang menggugat ikon Jombang di Twitter. Namun ketika saya bertanya tentang data-data, akun anonim ini tidak bisa menjawab. Dan di kemudian hari, akun anonim ini terlibat perang tweet dengan seorang mahasiswa yang juga tak mendapat jawaban dari akun anonim ini tentang data-data. Kemudian saya ikut menimpali agar supaya diadakan sebuah studi yang menyebutkan bahwa pembangunan minimarket berdampak buruk pada usaha toko kelontong. Belum ada kabar sampai sekarang, karena memang saya juga dalam posisi menggertak saat itu, jadi tak mau peduli pada akun anonim yang tak jelas.
Lalu kemudian surat kabar lokal menerbitkan berita isu tentang minimarket ini hampir setiap hari. Berusaha menekan pemerintah daerah untuk menertibkannya. Lalu saya curiga, sepertinya ada yang berkepentingan di sini. Kecurigaan ini berlanjut dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan bila minimarket yang tak berizin ini ditutup? Siapa yang dirugikan?
Hal-hal yang aneh saya temukan pada surat kabar lokal, dimana mereka menekankan tentang isu pendapatan daerah, isu tentang upeti yang diterima oleh para eksekutif daerah selain menjual kerugian oleh toko kelontong. Ketiga hal ini menurut saya tak berdasar, okelah tentang pendapatan daerah yang kurang karena bisa dibuktikan oleh pihak eksekutif. Namun tentang upeti dan toko kelontong ini yang belum ada dasar dan bukti yang jelas.
Siapa sih yang dirugikan kalau ternyata minimarket-minimarket ini ditutup? Yang jelas, yang berdampak langsung adalah para buruh, para karyawan yang bergantung hidupnya pada jalannya bisnis minimarket. Secara kasat mata, kita melihat sendiri minimarket telah menyumbang lapangan perburuhan pada anak-anak muda yang butuh kerja-upah untuk menghidupi hidup mereka.
Saya juga menekankan tidak mendukung para pemilik modal yang tidak taat ijin, saya cuma mempermasalahkan kenapa membawa isu tentang kerugian toko kelontong, tanpa ada studi ilmiah untuk mengkajinya? Hendaklah kalau membawa nama rakyat kecil harus ada bukti tentang dampak langsung ke mereka. Jangan asal menjual nama mereka layaknya barang yang bisa diperjual-belikan. Mereka tak butuh pembelaan yang semu.
*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia belum pernah menempuh pendidikan formal.
No comments:
Post a Comment