Wednesday, September 7, 2016

Tentang Inget Rumah #2


Oleh Mochammad IH

Pada Minggu (28/08/2016), saya berkesempatan menghadiri sebuah acara (bisa disebut) pameran seni rupa yang diadakan kawan-kawan Jombang Street Culture (JSC) Klan. Berlangsung di sudut sebuah perumahan yang sepi, tepatnya di sebuah rumah yang digunakan sebagai studio musik (Rushmini Studio) lalu garasinya disulap menjadi (((ruang kebudayaan))). Sebenarnya acaranya berlangsung selama tiga hari (26-28 Agustus 2016), namun saya baru bisa menyempatkan hadir pada hari penutupannya. Awalnya saya mengira acara penutup bakal menjadi acara puncak, ternyata bukan. Sempat juga tersesat untuk menemukan lokasinya, namun akhirnya ketemu juga.

Setelah polemik yang cukup hangat di kalangan aktivis pergerakan dan pegiat kebudayaan tentang perebutan ruang dan simpati massa, saya pada awalnya cukup pesimis, skeptis dan tis tis lainnya jika mendatangi acara-acara kebudayaan yang terlalu berjarak dengan massa rakyat, masyarakat dan warga sekitar. Maka dari itu melihat lokasi acara Inget Rumah #2 yang cukup terpencil dari kampung sedikit membuat saya kecewa. Apalagi mereka juga bersikap telah menemukan lokasi sempurna layaknya “surga”. Seringkali saya berpendapat saya lebih prefer memuji-muji acara mandiri yang dibuat oleh sekelompok karang taruna sebuah dusun, daripada yang dibuat oleh anak muda kelas menengah perkotaan (meskipun karang taruna tak lepas dari kritik, karena saya belum tau sejarah terbentuknya karang taruna sendiri). Tapi pada akhirnya saya khilaf sih, semuanya memang relatif. Gak bisa pukul rata menyalahkan acara kebudayaan yang berjarak, juga gak bisa memuji buta acara yang otonom dan merakyat.


A photo posted by #IngetRumah2 (@ingetrumah) on

Setelah membaca tulisan Nosa Normanda berjudul Daftar Cara Membunuh Skena Dengan Ormas[1] untuk ke sekian kali, saya jadi paham meskipun tidak paham-paham amat, bahwa membuat acara kebudayaan dengan membawa agenda dengan penuh harap dan niat baik itu relatif, tidak serta merta langsung bisa mendapat sambutan yang luas dari masyarakat, pasti mengalami sebuah proses dan perjuangan akan ketetapan visi kebudayaan sejak awal.

Dalam tulisan bung Nosa yang lain[2] memang nyata terjadi perebutan ruang di era demokrasi. Musuh kita, kaum anti-demokrasi seperti organ-organ rekasioner semacam FPI memanfaatkan ruang-ruang yang ditinggalkan oleh orang-orang demokrasi. Oleh anak-anak muda seperti kita, ruang-ruang ini dianggap tak mewakili pergerakan anak muda yang dinamis. Ruang-ruang seperti masjid, musholla, balai desa, dan semacamnya perlahan-lahan kehilangan semangat demokrasi dan dimanfaatkan oleh organ-organ semacam FPI untuk menumbuh-kembangkan organisasi dan cita-citanya. Dan akhirnya mereka ini yang mengerti bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat, lebih bisa diterima daripada anak-anak muda yang lebih berjarak. Akhirnya pada saat organ-organ ini beraksi untuk bertindak sewenang-wenang membubarkan acara kebudayaan, tidak ada perlindungan dari masyarakat sekitar. Karena masyarakat sekitar lebih percaya kepada organ-organ ini. Hal ini, meskipun belum terjadi di Jombang, namun tidak bisa tidak kemungkinan besar akan terjadi, jadi lebih baik bersiap-siap.


Manifesto yang Perlu Disebarkan, Apresiasi Karya yang Perlu Dibangun

Di dekat akses masuk, ada sebuah banner besar yang lumayan tinggi. Banner ini ternyata berisi tulisan yang cukup panjang mengenai informasi acara Inget Rumah #2. Di dalam tulisan ini seingat saya, berisi tentang visi dan misi Inget Rumah #2 dan juga tentang tema acara pada saat itu, teknologi.

Sepanjang pantauan saya selama acara, sedikit sekali kawan-kawan yang hadir pada saat itu membaca tulisan panjang tersebut. Saat saya membacanya memang perlu waktu yang tidak sedikit. Mungkin kawan-kawan penyelenggara bisa mengambil contoh pameran-pameran yang membuat semacam buku, pamflet, zine, dan semacamnya yang bisa dibaca lebih mudah. Buku/pamflet/zine ini berisi tentang informasi-informasi pameran dan karya-karya yang ada dalam pameran. Buku/pamflet/zine ini seringnya dijual pada saat pameran, tapi terkadang juga dibagikan secara cuma-cuma. Atau mungkin bisa dibuatkan sebuah website yang didalamnya berisi informasi-informasi pameran dan karya-karya yang hadir di dalam pameran seperti Ok. Video – Indonesia Media Arts Festival (http://okvideofestival.org/web/id/) yang menampilkan interpretasi atas karya-karya seniman media pada saat festival.


A photo posted by #IngetRumah2 (@ingetrumah) on

Saya sendiri pernah mendengar bahwa salah satu usaha minimal untuk mengapresiasi sebuah karya seniman rupa adalah berusaha bertanya pada perupanya arti dari karyanya. Hal itu sering saya praktekkan kemudian, demi menghargai karya sang seniman. Dalam Inget Rumah #2, dari sekian puluhan karya yang dikurasi oleh penyelenggara, hanya ada dua karya yang bisa saya tanya artinya kepada empunya karya.

Yang pertama adalah karya dari kawan saya, Hanafi (sayang tidak ada dokumentasi fotonya). Karyanya berupa sebuah gambaran sisi gelap bagaimana teknologi menjadi sebuah penghalang bagi manusia hari ini terhadap realitas yang terjadi. Ia menggambarkan sosok gadis yang memakai payung yang dibuat dari kepingan-kepingan keyboard ponsel, di bawah payung tersebut sosok gadis menjadi cerah, sedangkan di luar payung, hanya ada kegelapan hitam pekat. Konsepnya hampir mirip dengan konsep Spectacle milik Situasionis atau Simulacra milik Baudrilarrd.

Yang kedua adalah karya dari kawan saya juga, Kafi (sayang sekali tidak ada dokumentasinya juga) yang turut serta dalam komunitas Jombang Doodle. Seperti sebuah dikotomi karya Hanafi, Kafi melihat teknologi lebih positif sebagai sesuatu hal yang membebaskan dengan berbagai distribusi ilmu pengetahuan. Sosok kebebasan yang dibawa oleh teknologi digambarkan olehnya berupa sosok patung liberty. Distribusi ilmu pengetahuan yang dibawa teknologi semacam internet memang mendorong sebuah perubahan zaman, tetapi perubahan tersebut tidak diimbangi dengan perubahan kekuasaan. Memang dalam kasus Arab Spring, produk teknologi seperti social media membantu konsolidasi untuk melaksanakan perubahan kekuasaan, namun tidak semuanya membawa perubahan yang lebih baik—ini bisa dihitung dengan jari, sebagian besar bahkan lebih buruk.


Salam. Hai semuanyaaaaaa ~ Apa kabar kalian hari ini? Masih inget rumah kalian dimana kan? Haha! Yup! We're back! Visual Art Exhibition @ingetrumah #2 Pameran kali ini bertemakan TEKNOLOGIS, kenapa berkaitan dengan teknologi? Karena teknologi lah yang secara langsung telah banyak membantu kita dalam melakukan kegiatan dan mempermudah pekerjaan kita 😄 Dengan mengusung pemuda pemudi seni Jombang, kami dr JSC Klan mengadakan pameran visual art yg kedua kali nya. Bertujuan untuk mengenalkan kepada masyarakat Jombang tentang bagaimana cara kita para pemuda pemudi berbicara tentang perkembangan teknologi melalui visual yg kita ciptakan, berbicara tentang sisi lain dr semua perkembangan teknologi serta bagaimana kita bisa secara bijak dalam menggunakannya dan memberikan ruang kepada masyarakat terutama generasi muda dalam menikmati seni, mengkritisi perkembangan teknologi. Yuk! Mari berkunjung dan bercengkrama bersama kami 😍😍 Salam! ——————————————— VISUAL ART EXHIBITION @ingetrumah #2 "TEKNOLOGIS" 26 Agustus 2016 • Live Painting All Artist Gudang Logistik Jl. Suhat Jombang (Barat Taman Keplaksari) 10.00 WIB - Selesai • Pembukaan Pameran — 18.00 WIB (oleh Pak Nasrulloh) • Live Acoustic Perform : Besuts & Cucunung 27 Agustus 2016 • Workshop (Tindes Art) — 15.00 WIB • Diskusi Pameran — 19.00 WIB • Sablonase (Bawa Kaos Cerah) & Lapak DIY 28 Agustus 2016 • Pemutaran Video Dokumenter : Street Art Jombang • Djombang DJ Management (DDM) • Sablonase (Bawa Kaos Cerah) & Lapak DIY • Penutupan Pameran Tempat : Jl. Pattimura Gg. IV no. 01 Jombatan Jombang (Studio Rushmini) Daily Open : 18.00 WIB — 22.00 WIB #ingetrumah2 #visualart #exhibition #pameran #senirupa #musik #teknologis #jscklan #jombangpride #jbg0321graffiti #infojombang #jombang #explorejombang
A photo posted by #IngetRumah2 (@ingetrumah) on

Dalam film Surplus- Terrorized into Being Consumers (2003), ide awal penemuan teknologi adalah membuat kerja seorang manusia menjadi lebih ringan, atau mungkin membuat manusia tidak perlu kerja lagi dan hidup tenang tenang. Namun ternyata teknologi tidak membawa era dimana manusia tidak lagi membutuhkan kerja sebagai upaya untuk mencari uang untuk ditukarkan pada kebutuhan, malah kerja untuk mencari uang ini seperti tak ada bedanya bahkan mungkin lebih berat. Dalam filsafat Marxian sendiri memang kerja merupakan sebuah hal yang tak bisa dipisahkan dari manusia (aku kerja, maka aku ada), namun kerja untuk mencari uang untuk ditukarkan kebutuhan merupakan hal yang berbeda dengan kerja dalam maksud filsafat Marxian. Bahkan sempat terjadi polemik dan kekhawatiran bila tenaga-tenaga kerja alat produksi seperti buruh akan tidak mendapat sumber pemasukan kembali jika pabrik mempekerjakan robot. Namun saya sempat membaca argumen seorang aktivis buruh bahwa kapitalisme tidak akan pernah mempekerjakan robot karena akan menjadi senjata makan tuan, meskipun mereka tak perlu menggaji seorang robot dan mendapat keuntungan dari situ. Hal ini didasari bahwa pada akhirnya roda ekonomi berjalan karena para buruh membeli barang produksi pabrik menggunakan uang hasil dari gaji yang ia terima dari pabrik. Bila para pekerja seluruhnya diganti oleh produk teknologi seperti robot, maka roda ekonomi akan berhenti, karena tidak ada yang membeli produk yang dihasilkan para robot karena masyarakat tidak memiliki uang.


Harapan dan Potensi

Pagelaran kebudayaan seperti Inget Rumah sebenarnya memiliki potensi yang bagus untuk menjadi sebuah gerakan kebudayaan. Mudahan saya tak salah sangka, namun yang saya tangkap agenda yang dibawa para anak-anak muda ini adalah berusaha untuk memanggil kawan-kawan yang berkarya, menuntut ilmu di luar kota untuk kembali pulang dan bersama-sama membangun kota kecil Jombang.

Dalam sejarah sastra Indonesia sendiri, gerakan kebudayaan yang paling fenomenal adalah gerakan kebudayaan yang digerakkan oleh Angkatan ’45 yang puncaknya mendirikan ruang untuk para seniman yang disebut sebagai Gelanggang Seniman Merdeka. Meskipun pada akhirnya setelah Revolusi Agustus ’45 dianggap gagal yang merembet pada tamatnya Angkatan ’45 di hadapan polemik Lekra vs Manifesto Kebudayaan, apalagi setelah ditinggal oleh mendiang Chairil Anwar. Periode emas Angkatan ’45 sendiri pada saat jaman penjajahan Jepang dan berakhirnya periode Revolusi Agustus ’45  (1950). Pada saat itu seluruh seniman muda bersatu dalam agenda yang sama untuk mendukung Revolusi Agustus ’45.

Mungkin kawan-kawan penyelenggara bisa mengambil pelajaran dari Angkatan ’45 untuk membuat sebuah ruang sebagai bersatunya para seniman yang ‘pulang kampung’ untuk membangun Jombang. Sekian, tabik.[]

[1] Nosa Normanda, Daftar Cara Membunuh Skena Dengan | JakartaBeat https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/daftar-cara-membunuh-skena-dengan-ormas?lang=id



[2] Nosa Normanda, Ekstrimisme & Kaum Kota | EseiNosa https://eseinosa.wordpress.com/2016/04/12/ekstrimisme-kaum-kota/


Mochammad IH adalah editor Subyektif Zine. Sedang mondok.

Friday, September 2, 2016

Interpretasi Monolog Wahyuni dan Pementasan Jingklik



Oleh Mochammad IH


A photo posted by Nana Rahma (@nanarahma26) on


Minggu malam kemarin (21/08/2016) saya berkesempatan untuk menikmati dua pagelaran teater di sudut sebuah kampung, sebuah bengkel kayu milik seorang budayawan baik hati. Dengan kreatif, kawan-kawan teater Semar Undar menyulap bengkel kayu itu menjadi sebuah tata panggung yang minimalis namun magis.
Pementasan Jingklik dan Kritik Pada Suara
Sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan detil pada pementasan ini—bahkan saya lupa nama kolektif yang memainkannya heheh. Bergiliran lelaki masuk satu persatu dengan mengeluhkan properti kursi yang miring karena salah satu kakinya hilang. Keluhan tiga laki-laki ini masing-masing berbeda satu sama lain dan mereka mengucapkannya secara repetisi. Lalu lelaki terakhir masuk dan meneriaki satu persatu tiga lelaki yang mengeluh itu agar diam—saya tidak ingat bagaimana persisnya. Dan tiba-tiba pementasan tersebut diakhiri dengan berkumpulnya tiga lelaki pengeluh tadi menegakkan kursi yang miring tadi.

Dalam paparannya dalam sesi diskusi, saya menangkap bahwa Pementasan Jingklik membawa kritik pada budaya bising namun apolitis. Suatu hal yang klise sebenarnya, kalau tidak mau disebut usang, meskipun tidak klise-klise amat—toh, saya juga belum menemukan sebuah lanjutan dari perdebatan “aktif versus pasif” ini. Namun dalam polemik kebudayaan kekinian hampir tak pernah ada narasi yang keras untuk meributkan orang-orang pasif dan membandingkan orang-orang yang aktif untuk melakukan perubahan—meskipun narasi ini sempat ramai diperbincangkan oleh anak-anak muda kelas menengah kota beberapa tahun yang lalu.

Sempat terbesit kecurigaan dalam benak saya bahwa isu yang dibawa dalam Pementasan Jingklik—bila ditarik jauh ke belakang adalah hasil usaha Orde Baru untuk membuat masyarakat, terutama pemuda untuk menjadi buta politik/depolitisasi. Dan hal ini tidak dilakukan oleh Orde Baru setahun-dua tahun namun selama puluhan tahun—bahkan terus diproduksi saat ini ketika Orde Baru dipercaya telah runtuh. Akibat proses depolitisasi ini, masyarakat tidak bisa membedakan antara mengeluh dengan tendensi politis dan tidak, sehingga yang terjadi adalah playing victim, menyatakan golongan tertentu sebagai kambing hitam—karena masyarakat diasingkan dari alat bedah yang membuat mereka tak tahu akar masalah yang membuat mereka menderita. Hal ini dapat dibuktikan oleh tanggapan dari seorang kawan mengenai Pementasan Jingklik, kawan ini menjelaskan aktifitasnya yang cukup aktif untuk berkeluh kesah tentang keadaan ke jalan, sehingga ia menyebut ia tidak setuju dengan kritik yang dibawa oleh Pementasan Jingklik. Argumen kawan ini saya tidak ingat persisnya, namun ia menyebut bahwa menyuarakan keluhan merupakan salah satu tindakan yang tidak lepas dalam proses perubahan itu sendiri, bukan menjadi yang liyan dari perubahan.



Monolog Wahyuni dan Anak Kandung Sistem Pendidikan yang Bobrok
Monolog Wahyuni membawakan sebuah ketakutan, kekhawatiran seorang ibu yang sedang mengandung anaknya terhadap dunia yang akan ditinggali anaknya kelak. Monolog ini pun diakhiri dengan ketegangan saat kehamilan ibu tersebut mengalami kontraksi, dan penonton dibiarkan membayangkan dan memutuskan sendiri tentang apa yang terjadi selanjutnya—begitu paparan dari pemainnya saat sesi diskusi.


Sejujurnya, saya secara pribadi ikut sebagai pengamat dalam proses pembuatan naskah monolog. Meski tidak tahu secara detilnya, namun ide besarnya sudah saya ketahui sebelumnya. Kekhawatiran para orang tua tentang dunia kini yang benar-benar sudah menjadi jahat merupakan sebuah isu yang masih terus diperbincangkan hingga kini. Dalam filsafat Absurdisme, Albert Camus menawarkan dua solusi dalam mengarungi hidup yang absurd ini: pertama, bunuh diri; dan kedua, tetap menjalaninya hingga ajal menjemput. Narasi-narasi yang saya temukan juga menarik, bagaimana masyarakat yang mengarah pada modernisme (rasio) barat cenderung untuk tidak memperbanyak keturunan, berbeda dengan masyarakat yang belum tersentuh modernisme barat. Memang narasi kekhawatiran untuk mewarisi dunia yang berbahaya bagi anak-cucu semakin relevan di tengah ancaman kapitalisme global yang begitu tampak seperti iblis yang nyata.


Saya sendiri cukup kecewa sebenarnya monolog ini tidak membawa isu liberalisasi pendidikan yang membuat kampus hari ini menjadi lembaga yang murni bisnis dan berorientasi pada keuntungan semata. Liberalisasi pendidikan juga membuat biaya kuliah semakin tak terjangkau bagi orang tua mahasiswa, karena persaingan antara lembaga pendidikan sudah persis seperti persaingan perusahaan telekomunikasi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini seringkali mengamini sebuah kelakar, “orang miskin dilarang pintar.” Mungkin kawan yang mementaskan dan menulis naskah monolog ini tidak merasakan beban biaya kuliah yang semakin tinggi, atau mungkin tidak melihat teman-temannya yang putus kuliah karena persoalan biaya. Saya sendiri belum memahami peta biaya kuliah di Jombang, namun kampus-kampus baru satu-persatu mulai bermunculan, menandakan proses kapitalisasi dunia pendidikan sudah dimulai. Belum lagi kecenderungan liberalisasi pendidikan untuk pada akhirnya menjadikan mahasiswa hasil didikan sistem ini hanya menjadi kumpulan sekrup industri semata—bukan sebagai manusia yang utuh, atau bahkan sekedar untuk mencerdaskan bangsa. Dan semakin kesini, isu tentang liberalisasi pendidikan dan mahalnya biaya kuliah menjadi semakin nyaring disuarakan oleh kawan-kawan mahasiswa, meskipun berhadapan dengan aksi represif birokraksi kampus yang sering memberi sanksi seperti mengeluarkan mahasiswa yang kritis dari kampus.

Namun lama-lama saya melihat ada satu hal yang menarik tentang isu pendidikan yang dibawa oleh Monolog Wahyuni. Monolog Wahyuni sendiri berusaha mengkritisi sistem pendidikan yang melahirkan orang-orang bermental korup—meskipun tidak dijelaskan apa akar masalah yang membuat sistem pendidikan hari ini bisa melahirkan koruptor. Lalu saya berpikir bila tawaran-tawaran alternatif untuk menggantikan sistem hari ini jadi dilaksanakan apakah ada jaminan kampus tidak lagi menghasilkan anak haram? Misalnya membuat kampus memakai tatanan otonom, dimana masyarakat kampus seluruhnya menjadi setara tanpa pandang bulu, apakah bisa menjamin tidak menghasilkan koruptor? Ini menurut saya yang perlu didiskusikan lebih lanjut—atau mungkin sudah pernah didiskusikan dan bagaimana hasilnya. Semoga bermanfaat.[]

Mochammad IH adalah editor Subyektif Zine. Ia sedang menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren di Jombang.