Friday, September 2, 2016

Interpretasi Monolog Wahyuni dan Pementasan Jingklik



Oleh Mochammad IH


A photo posted by Nana Rahma (@nanarahma26) on


Minggu malam kemarin (21/08/2016) saya berkesempatan untuk menikmati dua pagelaran teater di sudut sebuah kampung, sebuah bengkel kayu milik seorang budayawan baik hati. Dengan kreatif, kawan-kawan teater Semar Undar menyulap bengkel kayu itu menjadi sebuah tata panggung yang minimalis namun magis.
Pementasan Jingklik dan Kritik Pada Suara
Sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan detil pada pementasan ini—bahkan saya lupa nama kolektif yang memainkannya heheh. Bergiliran lelaki masuk satu persatu dengan mengeluhkan properti kursi yang miring karena salah satu kakinya hilang. Keluhan tiga laki-laki ini masing-masing berbeda satu sama lain dan mereka mengucapkannya secara repetisi. Lalu lelaki terakhir masuk dan meneriaki satu persatu tiga lelaki yang mengeluh itu agar diam—saya tidak ingat bagaimana persisnya. Dan tiba-tiba pementasan tersebut diakhiri dengan berkumpulnya tiga lelaki pengeluh tadi menegakkan kursi yang miring tadi.

Dalam paparannya dalam sesi diskusi, saya menangkap bahwa Pementasan Jingklik membawa kritik pada budaya bising namun apolitis. Suatu hal yang klise sebenarnya, kalau tidak mau disebut usang, meskipun tidak klise-klise amat—toh, saya juga belum menemukan sebuah lanjutan dari perdebatan “aktif versus pasif” ini. Namun dalam polemik kebudayaan kekinian hampir tak pernah ada narasi yang keras untuk meributkan orang-orang pasif dan membandingkan orang-orang yang aktif untuk melakukan perubahan—meskipun narasi ini sempat ramai diperbincangkan oleh anak-anak muda kelas menengah kota beberapa tahun yang lalu.

Sempat terbesit kecurigaan dalam benak saya bahwa isu yang dibawa dalam Pementasan Jingklik—bila ditarik jauh ke belakang adalah hasil usaha Orde Baru untuk membuat masyarakat, terutama pemuda untuk menjadi buta politik/depolitisasi. Dan hal ini tidak dilakukan oleh Orde Baru setahun-dua tahun namun selama puluhan tahun—bahkan terus diproduksi saat ini ketika Orde Baru dipercaya telah runtuh. Akibat proses depolitisasi ini, masyarakat tidak bisa membedakan antara mengeluh dengan tendensi politis dan tidak, sehingga yang terjadi adalah playing victim, menyatakan golongan tertentu sebagai kambing hitam—karena masyarakat diasingkan dari alat bedah yang membuat mereka tak tahu akar masalah yang membuat mereka menderita. Hal ini dapat dibuktikan oleh tanggapan dari seorang kawan mengenai Pementasan Jingklik, kawan ini menjelaskan aktifitasnya yang cukup aktif untuk berkeluh kesah tentang keadaan ke jalan, sehingga ia menyebut ia tidak setuju dengan kritik yang dibawa oleh Pementasan Jingklik. Argumen kawan ini saya tidak ingat persisnya, namun ia menyebut bahwa menyuarakan keluhan merupakan salah satu tindakan yang tidak lepas dalam proses perubahan itu sendiri, bukan menjadi yang liyan dari perubahan.



Monolog Wahyuni dan Anak Kandung Sistem Pendidikan yang Bobrok
Monolog Wahyuni membawakan sebuah ketakutan, kekhawatiran seorang ibu yang sedang mengandung anaknya terhadap dunia yang akan ditinggali anaknya kelak. Monolog ini pun diakhiri dengan ketegangan saat kehamilan ibu tersebut mengalami kontraksi, dan penonton dibiarkan membayangkan dan memutuskan sendiri tentang apa yang terjadi selanjutnya—begitu paparan dari pemainnya saat sesi diskusi.


Sejujurnya, saya secara pribadi ikut sebagai pengamat dalam proses pembuatan naskah monolog. Meski tidak tahu secara detilnya, namun ide besarnya sudah saya ketahui sebelumnya. Kekhawatiran para orang tua tentang dunia kini yang benar-benar sudah menjadi jahat merupakan sebuah isu yang masih terus diperbincangkan hingga kini. Dalam filsafat Absurdisme, Albert Camus menawarkan dua solusi dalam mengarungi hidup yang absurd ini: pertama, bunuh diri; dan kedua, tetap menjalaninya hingga ajal menjemput. Narasi-narasi yang saya temukan juga menarik, bagaimana masyarakat yang mengarah pada modernisme (rasio) barat cenderung untuk tidak memperbanyak keturunan, berbeda dengan masyarakat yang belum tersentuh modernisme barat. Memang narasi kekhawatiran untuk mewarisi dunia yang berbahaya bagi anak-cucu semakin relevan di tengah ancaman kapitalisme global yang begitu tampak seperti iblis yang nyata.


Saya sendiri cukup kecewa sebenarnya monolog ini tidak membawa isu liberalisasi pendidikan yang membuat kampus hari ini menjadi lembaga yang murni bisnis dan berorientasi pada keuntungan semata. Liberalisasi pendidikan juga membuat biaya kuliah semakin tak terjangkau bagi orang tua mahasiswa, karena persaingan antara lembaga pendidikan sudah persis seperti persaingan perusahaan telekomunikasi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini seringkali mengamini sebuah kelakar, “orang miskin dilarang pintar.” Mungkin kawan yang mementaskan dan menulis naskah monolog ini tidak merasakan beban biaya kuliah yang semakin tinggi, atau mungkin tidak melihat teman-temannya yang putus kuliah karena persoalan biaya. Saya sendiri belum memahami peta biaya kuliah di Jombang, namun kampus-kampus baru satu-persatu mulai bermunculan, menandakan proses kapitalisasi dunia pendidikan sudah dimulai. Belum lagi kecenderungan liberalisasi pendidikan untuk pada akhirnya menjadikan mahasiswa hasil didikan sistem ini hanya menjadi kumpulan sekrup industri semata—bukan sebagai manusia yang utuh, atau bahkan sekedar untuk mencerdaskan bangsa. Dan semakin kesini, isu tentang liberalisasi pendidikan dan mahalnya biaya kuliah menjadi semakin nyaring disuarakan oleh kawan-kawan mahasiswa, meskipun berhadapan dengan aksi represif birokraksi kampus yang sering memberi sanksi seperti mengeluarkan mahasiswa yang kritis dari kampus.

Namun lama-lama saya melihat ada satu hal yang menarik tentang isu pendidikan yang dibawa oleh Monolog Wahyuni. Monolog Wahyuni sendiri berusaha mengkritisi sistem pendidikan yang melahirkan orang-orang bermental korup—meskipun tidak dijelaskan apa akar masalah yang membuat sistem pendidikan hari ini bisa melahirkan koruptor. Lalu saya berpikir bila tawaran-tawaran alternatif untuk menggantikan sistem hari ini jadi dilaksanakan apakah ada jaminan kampus tidak lagi menghasilkan anak haram? Misalnya membuat kampus memakai tatanan otonom, dimana masyarakat kampus seluruhnya menjadi setara tanpa pandang bulu, apakah bisa menjamin tidak menghasilkan koruptor? Ini menurut saya yang perlu didiskusikan lebih lanjut—atau mungkin sudah pernah didiskusikan dan bagaimana hasilnya. Semoga bermanfaat.[]

Mochammad IH adalah editor Subyektif Zine. Ia sedang menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren di Jombang.

No comments:

Post a Comment