Oleh Mochammad IH
Minggu malam kemarin (21/08/2016) saya berkesempatan untuk menikmati dua pagelaran teater di sudut sebuah kampung, sebuah bengkel kayu milik seorang budayawan baik hati. Dengan kreatif, kawan-kawan teater Semar Undar menyulap bengkel kayu itu menjadi sebuah tata panggung yang minimalis namun magis.
Pementasan Jingklik dan Kritik Pada Suara
Sejujurnya saya tidak terlalu memperhatikan detil pada
pementasan ini—bahkan saya lupa nama kolektif yang memainkannya heheh.
Bergiliran lelaki masuk satu persatu dengan mengeluhkan properti kursi yang
miring karena salah satu kakinya hilang. Keluhan tiga laki-laki ini
masing-masing berbeda satu sama lain dan mereka mengucapkannya secara repetisi.
Lalu lelaki terakhir masuk dan meneriaki satu persatu tiga lelaki yang mengeluh
itu agar diam—saya tidak ingat bagaimana persisnya. Dan tiba-tiba pementasan
tersebut diakhiri dengan berkumpulnya tiga lelaki pengeluh tadi menegakkan
kursi yang miring tadi.
Dalam paparannya dalam sesi diskusi, saya menangkap bahwa Pementasan
Jingklik membawa kritik pada budaya bising namun apolitis. Suatu hal yang klise
sebenarnya, kalau tidak mau disebut usang, meskipun tidak klise-klise amat—toh,
saya juga belum menemukan sebuah lanjutan dari perdebatan “aktif versus pasif”
ini. Namun dalam polemik kebudayaan kekinian hampir tak pernah ada narasi yang
keras untuk meributkan orang-orang pasif dan membandingkan orang-orang yang
aktif untuk melakukan perubahan—meskipun narasi ini sempat ramai
diperbincangkan oleh anak-anak muda kelas menengah kota beberapa tahun yang
lalu.
Sempat terbesit kecurigaan dalam benak saya bahwa isu yang
dibawa dalam Pementasan Jingklik—bila ditarik jauh ke belakang adalah hasil
usaha Orde Baru untuk membuat masyarakat, terutama pemuda untuk menjadi buta
politik/depolitisasi. Dan hal ini tidak dilakukan oleh Orde Baru setahun-dua
tahun namun selama puluhan tahun—bahkan terus diproduksi saat ini ketika Orde
Baru dipercaya telah runtuh. Akibat proses depolitisasi ini, masyarakat tidak
bisa membedakan antara mengeluh dengan tendensi politis dan tidak, sehingga
yang terjadi adalah playing victim, menyatakan golongan tertentu sebagai
kambing hitam—karena masyarakat diasingkan dari alat bedah yang membuat mereka tak
tahu akar masalah yang membuat mereka menderita. Hal ini dapat dibuktikan oleh
tanggapan dari seorang kawan mengenai Pementasan Jingklik, kawan ini
menjelaskan aktifitasnya yang cukup aktif untuk berkeluh kesah tentang keadaan
ke jalan, sehingga ia menyebut ia tidak setuju dengan kritik yang dibawa oleh
Pementasan Jingklik. Argumen kawan ini saya tidak ingat persisnya, namun ia
menyebut bahwa menyuarakan keluhan merupakan salah satu tindakan yang tidak
lepas dalam proses perubahan itu sendiri, bukan menjadi yang liyan dari
perubahan.
Monolog Wahyuni dan Anak Kandung Sistem Pendidikan yang
Bobrok
Monolog Wahyuni membawakan sebuah ketakutan, kekhawatiran
seorang ibu yang sedang mengandung anaknya terhadap dunia yang akan ditinggali
anaknya kelak. Monolog ini pun diakhiri dengan ketegangan saat kehamilan ibu
tersebut mengalami kontraksi, dan penonton dibiarkan membayangkan dan
memutuskan sendiri tentang apa yang terjadi selanjutnya—begitu paparan dari
pemainnya saat sesi diskusi.
Sejujurnya, saya secara pribadi ikut sebagai pengamat dalam
proses pembuatan naskah monolog. Meski tidak tahu secara detilnya, namun ide
besarnya sudah saya ketahui sebelumnya. Kekhawatiran para orang tua tentang
dunia kini yang benar-benar sudah menjadi jahat merupakan sebuah isu yang masih
terus diperbincangkan hingga kini. Dalam filsafat Absurdisme, Albert Camus
menawarkan dua solusi dalam mengarungi hidup yang absurd ini: pertama, bunuh
diri; dan kedua, tetap menjalaninya hingga ajal menjemput. Narasi-narasi yang
saya temukan juga menarik, bagaimana masyarakat yang mengarah pada modernisme
(rasio) barat cenderung untuk tidak memperbanyak keturunan, berbeda dengan
masyarakat yang belum tersentuh modernisme barat. Memang narasi kekhawatiran
untuk mewarisi dunia yang berbahaya bagi anak-cucu semakin relevan di tengah
ancaman kapitalisme global yang begitu tampak seperti iblis yang nyata.
Saya sendiri cukup kecewa sebenarnya monolog ini tidak
membawa isu liberalisasi pendidikan yang membuat kampus hari ini menjadi
lembaga yang murni bisnis dan berorientasi pada keuntungan semata. Liberalisasi
pendidikan juga membuat biaya kuliah semakin tak terjangkau bagi orang tua
mahasiswa, karena persaingan antara lembaga pendidikan sudah persis seperti
persaingan perusahaan telekomunikasi yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Hal ini seringkali mengamini sebuah kelakar, “orang miskin dilarang pintar.” Mungkin
kawan yang mementaskan dan menulis naskah monolog ini tidak merasakan beban
biaya kuliah yang semakin tinggi, atau mungkin tidak melihat teman-temannya
yang putus kuliah karena persoalan biaya. Saya sendiri belum memahami peta
biaya kuliah di Jombang, namun kampus-kampus baru satu-persatu mulai
bermunculan, menandakan proses kapitalisasi dunia pendidikan sudah dimulai. Belum
lagi kecenderungan liberalisasi pendidikan untuk pada akhirnya menjadikan
mahasiswa hasil didikan sistem ini hanya menjadi kumpulan sekrup industri
semata—bukan sebagai manusia yang utuh, atau bahkan sekedar untuk mencerdaskan
bangsa. Dan semakin kesini, isu tentang liberalisasi pendidikan dan mahalnya
biaya kuliah menjadi semakin nyaring disuarakan oleh kawan-kawan mahasiswa,
meskipun berhadapan dengan aksi represif birokraksi kampus yang sering memberi
sanksi seperti mengeluarkan mahasiswa yang kritis dari kampus.
Namun lama-lama saya melihat ada satu hal yang menarik
tentang isu pendidikan yang dibawa oleh Monolog Wahyuni. Monolog Wahyuni
sendiri berusaha mengkritisi sistem pendidikan yang melahirkan orang-orang
bermental korup—meskipun tidak dijelaskan apa akar masalah yang membuat sistem
pendidikan hari ini bisa melahirkan koruptor. Lalu saya berpikir bila
tawaran-tawaran alternatif untuk menggantikan sistem hari ini jadi dilaksanakan
apakah ada jaminan kampus tidak lagi menghasilkan anak haram? Misalnya membuat
kampus memakai tatanan otonom, dimana masyarakat kampus seluruhnya menjadi
setara tanpa pandang bulu, apakah bisa menjamin tidak menghasilkan koruptor?
Ini menurut saya yang perlu didiskusikan lebih lanjut—atau mungkin sudah pernah
didiskusikan dan bagaimana hasilnya. Semoga bermanfaat.[]
Mochammad IH adalah editor Subyektif Zine. Ia sedang
menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren di Jombang.
No comments:
Post a Comment