Oleh Mochammad IH
Nah sejauh pengalaman gue mengamati isu-isu politik, sering kali beberapa orang yang menerima bulat-bulat informasi--entah karena fanatisme atau emang pada dasarnya doi bigot-- mereka ini seringkali menyesal di akhir dan merasa ditipu mentah-mentah setelah sadar dengan dukungannya jatuh pada orang yang salah. Kemudian seiring waktu, para korban sebagian ada yang sudah pesimis kalo ditipu kembali, namun ada juga yang masih terjebak kembali pada lubang yang sama.
Gue termasuk orang yang sering terjebak pada lubang yang sama dalam bersikap pada isu politik. Semakin sadar bahwa tidak ada figur yang dapat di percaya dalam ranah politik--belakangan gue disadarkan bahwa mempercayakan pada figur adalah kesalahannya, tak ada yang bisa menyelamatkan kita kecuali kita sendiri. Sounds like punk.
Ya, tak ada yang bisa menolong diri kita kecuali diri kita sendiri. Kemandirian dan berpikir tentang apa pentingnya bagi kita adalah sikap kedua.
Baru-baru ini yang lagi hot sikap para anggota dewan yang setuju melakukan hak angket atas sikap gubernurnya--yang pada akhirnya sang gubernur bisa saja dimakzulkan, lalu sang gubernur ini terlihat membalas perlakuan para anggota dewan dengan melaporkan mereka ke KPK. Lalu para penonton ini pun langsung pro dan kontra, masing-masing mendukung salah satu pihak. Dan para pendukung ini adalah para calon korban yang tertipu dengan sandiwara figur.
Salah satu pertanyaan kritis yang gue dapet di social media: kalo memang korupsinya sejak tahun 2012, kenapa baru dilaporkan sekarang (2015)? Semoga pertanyaan ini bisa menjawab sebagian apa yang ingin gue sampaikan. Gue tinggal di salah satu kota kecil di Jawa Timur, ratusan kilometer jauhnya dari ibukota. Jadi buat apa mengurus isu di ibukota kalo tidak ada kepentingannya di kota yang gue tinggali?
Lalu sempat ada teori bahwa isu-isu yang dimainkan oleh para tokoh politik ini adalah sebuah pengalihan atas isu yang lebih besar. Dan para pemilik teori ini mengatakan bahwa isu-isu tentang penindasan penguasa terhadap kita adalah isu-isu yang harus kita pedulikan, karena kita memiliki rasa penderitaan yang sama sebagai orang-orang kecil yang tak memiliki kuasa politik.
*Mochammad IH adalah editor jurnal subyektif yang tak menempuhi pendidikan formal
No comments:
Post a Comment