Oleh Mochammad IH
Selama ini gue termasuk orang yang mendukung industri rokok/kretek sebagai nafas negara. Mengamini kata mereka sebagai warisan budaya. Tapi disadarkan ketika mendapati kenyataan bahwa harga rokok yang kelewat mahal. Lalu sempat mengalami penderitaan ketika uang saku habis karena dihabiskan untuk merokok. Rokok sekarang menjadi kebutuhan primer yang termasuk dalam makan (setidaknya bagi gue). Tulisan ini bukan tentang kesehatan, tapi bagaimana pandangan subyektif gue tentang relasi rokok dan kemiskinan.
Rokok itu adiktif? Orang luar sana bilang begitu. Tapi industri rokok gencar sekali dalam menggunakan dana CSR. Seakan-akan dosa mereka terobati karena telah melakukan pembangunan yang dicitrakan. Yang lucu adalah ketika ada pelarangan bagi mereka membiayai kegiatan olahraga, seni dan budaya, gue mendapati mereka bertransformasi dengan wajah baru. Robin Hood masih bergentayangan.
Tuntutan subyektif gue cuma satu: kesejahteraan bagi seluruh petani tembakau, para buruh dan konsumen. Konsumen di sini tidak terlalu diperhatikan kesejahteraannya, dia tanpa pernah disadarkan bahwa membeli produk mereka sama dengan kemiskinan. Sebenernya dengan harganya yang mahal harusnya mereka berpikir bahwa mereka akan menjadi miskin, atau bangsa kita ini kelewat terlalu bodoh untuk berpikir memakai otak?
Kalau ditarik jauh kembali, rokok bukanlah penyebab kemiskinan melanda bangsa ini. Rokok merupakan sebuah produk kelas berkantong tebal, jadi apalah arti rokok bila harganya murah? Apalah arti rokok bila bangsa ini terbebas dari kemiskinan? Jadi pada dasarnya bangsa ini saat sekarang belum sanggup membeli rokok sebungkus sehari.
*Mochammad IH adalah editor jurnal subyektif. Dia tak menempuh pendidikan formal.
No comments:
Post a Comment