oleh Mochammad IH
Tanggapan untuk Tsamrotul AM
Tanggapan untuk Tsamrotul AM
Dalam tulisan “Perempuan Bukan ‘Tiyang Wingking’”, Tsamrotul
menjelaskan panjang lebar bagaimana institusi agama, dalam hal ini Islam secara
tidak langsung mendukung apa yang diperjuangkan oleh feminisme, yaitu
kesetaraan gender dengan menyebutkan berbagai tafsiran dari Alqur’an yang
mendukung kesetaraan gender.
Tulisan Tsamrotul bukannya tanpa kekurangan, namun penulis
melihat tulisannya sebagai awal dari sebuah diskusi dengan tema yang lebih besar
tentang isu kesetaraan gender dalam Islam. Nah tulisan ini akan menyampaikan hal-hal yang
luput disampaikan oleh Tsamrotul, berupa pertanyaan-pertanyaan yang belum
terjawab oleh tulisan Tsamrotul sebelumnya.
Apa yang Diperjuangkan Feminisme
Menurut hemat saya, feminisme muncul sebagai reaksi atas
ketimpangan relasi kuasa atas pembagian tugas dalam gender akibat patriarki.
Sekelompok gender tertentu merasa lebih berkuasa daripada gender yang lain.
Misalnya kita ambil kasus perkosaan, pelaku merasa lebih berkuasa dengan
memaksa si korban menjadi objek seksualnya. Dalam pandangan pelaku, korban tak
lebih dari objek seksual, bukan manusia sebagai subjek yang memiliki kehendak
bebas. Seringkali juga dikaitkan dengan sifat memiliki, hingga korban hanya
dianggap sebuah benda (properti).
Feminisme mendukung kebebasan dan kesetaraan gender. Karena
kebebasan tanpa kesetaraan akan menjadi ketimpangan, sedangkan kesetaraan tanpa
kebebasan akan menjadi penindasan. Jadi gerakan feminisme bukan bertujuan untuk
membalik struktur patriarki menjadi matriarki, perempuan untuk menguasai lelaki
sebagaimana yang sering dituduhkan. Itu sama saja mereka berperilaku seperti
hal yang mereka lawan. Feminisme sendiri memiliki berbagai varian yang
seringkali berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.
Isu Feminisime Dalam Islam
Meskipun Tsamrotul menerangkan berbagai dasar untuk
mengkuatkan argumen bahwa Islam mendukung kesetaraan gender, ia sama sekali tak
berbicara mengenai isu-isu yang cukup ramai diperbincangkan ketika
memperbincangkan feminisme dalam Islam. Contohnya poligami, bagaimana praktek
poligami dijauhkan dari kajian historisnya pada jaman Nabi Muhammad, bagaimana
syarat dan pra-syarat poligami dalam prakteknya juga sering dikhianati. Lalu
isu pernikahan anak, bagaimana memperbandingan kasus Rasululloh menikahi Aisyah
dengan pernikahan Syekh Puji. Isu-isu seperti inilah yang perlu dikaji,
didiskusikan dan digali oleh umat Islam untuk menghadapi jaman, karena Islam
dan Feminisme sama-sama berangkat dari ketidak-adilan.
Kemudian bagaimana perempuan dalam sejarah peradaban Islam
15 abad ini tidak hanya dijadikan fosil-fosil cerita seperti yang dilakukan
Tsamrotul terhadap nama-nama perempuan yang diabadikan oleh Alqur’an. Ada tugas
untuk mengkaji pemikiran nama-nama perempuan yang diabadikan dalam Alqur’an
ini, bagaimana kisahnya, apa saja pemikirannya, apa saja keberhasilannya, apa
saja harapannya terhadap Islam di masa depan dan hal-hal yang perlu diteruskan
oleh generasi Islam di masa depan.
The Personal is Political
Wujud patriarki begitu banyak dan bisa hadir dalam wujud
sederhana seperti pakaian. Pengalaman patriarki seseorang bisa sangat berbeda
dengan pengalaman patriarki lainnya. Misalnya, bagaimana perjuangan ibu-ibu
Rembang melawan patriarki berwujud pabrik semen. Perjuangan buruh-buruh pabrik
perempuan melawan patriarki yang berwujud pada kebijakan perusahaan yang
meniadakan cuti haid. Perjuangan FEMEN dalam sejarahnya melawan patriarki yang
berwujud penjualan perempuan-perempuan Eropa Timur yang dijadikan budak seks
dan pelacur. Mama-mama di Papua melawan patriarki dalam wujud rasisme pendatang
yang memenuhi pasar di tanah mereka.
Perbedaan-perbedaan subjektivitas inilah yang seringkali
menjadi penghalang bagi gerakan feminis untuk bersatu. Saling sindir dan mengaku
penindasan dirinya yang paling dalam seringkali menjadi bibit-bibit perpecahan.
Namun hal-hal seperti ini yang harusnya dimengerti oleh orang yang mengaku
feminis dimanapun, bahwa patriarki berwujud dalam bentuk apapun, maka feminisme
sebagai bentuk perlawanan akan juga muncul dalam bentuk yang berlainan.
Apabila perempuan bersuara (atau menulis) bahwa dirinya
merasa adanya ketidak-adilan dalam kehidupan sehari-harinya hanya karena
perbedaan gender, maka langkah awal untuk menjadi feminis sudah dilakoninya.
Selanjutnya adalah mengorganisasi perempuan-perempuan yang mengalami pengalaman
yang sama. Namun tidak berdosa untuk mengikutsertakan laki-laki dalam
perjuangan melawan ketidak-adilan.***
Kepustakaan:
-
Perdana Putri, [Drabble]
The Personal is Still Political: Catatan Singkat tentang Feminisme | Larung dan
Gula-Gula Kapas – Paradoks Melulu https://parasaradanatri.wordpress.com/2016/03/03/the-personal-is-still-political-catatan-singkat-tentang-feminisme/
-
Tsamrotul AM, Perempuan
Bukan ‘Tiyang Wingking’ | Subyektif Zine http://subyektifzine.blogspot.co.id/2016/03/perempuan-bukan-tiyang-wingking.html
Mochammad IH, sedang belajar di salah satu Pondok Pesantren di
Jombang.