Oleh Mochammad IH
Penulis tak berekspektasi yang berlebihan ketika menghadiri
perhelatan kebudayaan yang sepertinya diadakan secara kolektif oleh para
mahasiswa dan pemuda sekitar ini. Acara senang-senang berbudaya ini cukup
menarik animo masyarakat dengan hadirnya para pengunjung berduyun-duyun barang
sejenak. Cukup seperti itu sebenarnya kesan dari Kebun Rupa yang diadakan kedua
kalinya ini.
Seni Sebagai Perlawanan
Tak ada yang spesial, kecuali bintang tamunya mengundang salah satu intelektual muda muslim progresif Jombang yang cukup aktif bergerilya kesana-kemari menyuarakan kepedulian terhadap rakjat bernama Roy Murtadho. Bliyo yang familiar dipanggil Gus Roy ini bermonolog barang sejenak tentang keadaan air bersih di pulau Jawa yang terancam oleh mimpi terburuk dari kapitalisme: krisis air bersih.
Sebenarnya disadari atau tidak krisis ini perlahan-lahan
sudah dimulai, lihat saja apakah kita membeli saat menggunakan air? Setiap minggu
membeli air dalam galon untuk minum? Setiap bulan membayar PDAM untuk air?
Kalau masih memakai air sumur, maka berarti kita masih belum terkooptasi oleh
kapitalisme. Karena ciri khas masyarakat (yang terpapar) kapitalisme (menurut
Karl Marx) adalah kita harus menjual sesuatu untuk mendapat uang, lalu uang itu
akan kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ketika Gus Roy bermonolog, penulis bertanya-tanya mengapa
bliyonya mengambil isu lingkungan untuk disampaikan kepada muda-mudi, mahasiswa
dan pemuda sekitar di STKIP PGRI Jombang malam itu. Apakah isu lingkungan hal
yang cukup nyambung ke pemuda-pemudi Jombang? Bagaimana soal kemanusiaan?
Apakah tidak cukup menarik? Apakah soal lingkungan memang cukup urgensi? Penulis
cukup terinformasi bahwa Gus Roy sendiri cukup punya kapasitas untuk
menyampaikan berbagai isu yang ditimbulkan akibat dari hidup dan berkembangnya
kapitalisme. Ini bisa dibuktikan bagaimana bliyo sedikit bercerita bahwa dalam
sejarah, musik-musik yang dimainkan masyarakat kekinian pada jamannya dibawakan
dengan semangat perlawanan pada ketidak-adilan. Gus Roy menyebut tentang Blues,
Hip-hop, lalu audiens berseru Reggae yang diiyakan oleh bliyo.
Iksan Skuter, sang bintang tamu yang
mengundang Gus Roy untuk berbicara barang sejenak juga cukup menarik. Namun
penulis merasa ada hal yang kontradiktif pada hal-hal yang telah disampaikan
Iwan di sela-sela permainan musiknya. Di awal pertunjukkannya, bliyo
menceritakan salah satu latar belakang lagunya dari album awalnya untuk
mengejar mimpi, lalu disambung dengan
mengajak audiens untuk mendukung produk lokal, dan Iksan juga sempat menerangkan
tentang persaingan, kompetitisi, lokal vs ibukota, dan hal-hal yang biasa
diucapkan oleh intelektual ekonomi borjuasi dan motivator-motivator dengan
bayaran perjam.
Namun saat Iksan membawakan lagu-lagu di album terbarunya,
Benderang Terang, apa yang disampaikan bliyo lebih jujur, lebih bermuatan
politis dan lebih kiri. Bahkan salah satu kawan penulis sempat ingin menangis
saat Iksan membawakan lagu Kereta, mengenang kereta api sebelum di reformasi
besar-besaran seperti sekarang.
Zine yang dibawa oleh tim Benderang Terang Tour juga hal
yang menarik. Muatannya benar-benar kiri, ditulis dengan menggunakan metode
materialisme historis. Zine ini mengungkapkan sejarah perkebunan kopi di
Indonesia, yang mana dimulai di era tanam paksa (culture stelsel/preanger
stelsel) Hindia Belanda yang menghasilkan keuntungan yang sangat banyak bagi
negeri Belanda setelah kasnya dikuras habis oleh Perang Diponegoro.
Penutup: Ancaman yang Menghadang
Tak ada masalah dengan peran serta kolektif dari komunitas Jombang yang ikut mendirikan lapak-lapak. Toh, penulis cukup yakin semakin bertambahnya usia dari Kebun Rupa yang digagas oleh kawan-kawan Terumbu Rupa, akan semakin banyak kolektif-kolektif lain yang ikut mendukung adanya acara ini. Namun dibalik itu semua, penulis ingin kawan-kawan memperhatikan sebuah peristiwa-peristiwa yang hadir dalam beberapa minggu terakhir.
Dalam minggu ini beberapa kawan pemerhati aktivisme dan
kebudayaan dibuat berang oleh ulah ormas intoleran yang mengatasnamakan agama
yang membubarkan acara demi acara. Peristiwa pembubaran paksa acara Lady Fast
di Yogya kemarin cukup menarik perhatian yang luas. Meskipun peristiwa di Yogya
ini bukan yang pertama kali, namun jauh-jauh hari telah banyak pembubaran paksa
oleh aktor yang sama. Menurut penulis ini membuktikan peristiwa pembubaran
paksa ini tidak hanya terjadi di ibukota, namun di daerah-daerah juga terjadi
hal yang sama.
Urusan mempertahankan kebebasan berpendapat, hak untuk
berkumpul dan menyampaikan aspirasi telah terancam dengan ancaman yang cukup
serius. Mungkin pada hari itu kawan-kawan Terumbu Rupa tidak mengalami masalah
keamanan ini, namun siapa tahu suatu hari nanti STKIP atau Jombang umunya juga
mengalami hal yang sama.
Di media sosial sendiri, selain banyak mengutuk acara
tersebut, namun tak sedikit pula yang menawarkan pembedahan masalah dan solusi.
Mulai dari kawan-kawan anarkis sampai diaspora Indonesia yang berada di luar
negeri memberikan pandangan dan solusi. Hal inilah yang mungkin penulis
harapkan kawan-kawan Terumbu Rupa untuk diperhatikan. Tabik.***
Bacaan Lebih Lanjut:
- Nosa Normanda, Daftar Cara Membunuh Skena | Jakartabeat http://www.jakartabeat.net/kolom/konten/daftar-cara-membunuh-skena-dengan-ormas
- Kolektif Betina, Kronologi Pembubaran Paksa Acara LadyFast 2
April 2016 | Kolektif Betina’s Facebook Page https://www.facebook.com/betinakolektif/posts/516330661904004
- Windu Jusuf, Mengapa Orang Marah Perlu Diorganisir? | Rubrik
Oase, Indoprogress http://indoprogress.com/2016/03/mengapa-orang-marah-perlu-diorganisir/
- @anarkisorg, Kumpulan Twit #FaktaFasis https://storify.com/aliasjojoz/faktafasis-by-anarkisorg/preview
Mochammad IH adalah murid yang sedang menempuh pendidikan di
salah satu Pondok Pesantren di Jombang, bisa dihubungi lewat twitter
@aliasjojoz
Iksan skuter mas,mohon ralatnya
ReplyDeleteterimakasih ralatnya, segera diedit sama editor.
Delete