Tuesday, April 5, 2016

Kebun Rupa 2.0: Acara Suka-Suka yang Lain





A photo posted by Karya Omah Rasa Lokal (@terumburupa) on



Oleh Mochammad IH

Penulis tak berekspektasi yang berlebihan ketika menghadiri perhelatan kebudayaan yang sepertinya diadakan secara kolektif oleh para mahasiswa dan pemuda sekitar ini. Acara senang-senang berbudaya ini cukup menarik animo masyarakat dengan hadirnya para pengunjung berduyun-duyun barang sejenak. Cukup seperti itu sebenarnya kesan dari Kebun Rupa yang diadakan kedua kalinya ini.

Seni Sebagai Perlawanan

Tak ada yang spesial, kecuali bintang tamunya mengundang salah satu intelektual muda muslim progresif Jombang yang cukup aktif bergerilya kesana-kemari menyuarakan kepedulian terhadap rakjat bernama Roy Murtadho. Bliyo yang familiar dipanggil Gus Roy ini bermonolog barang sejenak tentang keadaan air bersih di pulau Jawa yang terancam oleh mimpi terburuk dari kapitalisme: krisis air bersih.

Sebenarnya disadari atau tidak krisis ini perlahan-lahan sudah dimulai, lihat saja apakah kita membeli saat menggunakan air? Setiap minggu membeli air dalam galon untuk minum? Setiap bulan membayar PDAM untuk air? Kalau masih memakai air sumur, maka berarti kita masih belum terkooptasi oleh kapitalisme. Karena ciri khas masyarakat (yang terpapar) kapitalisme (menurut Karl Marx) adalah kita harus menjual sesuatu untuk mendapat uang, lalu uang itu akan kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ketika Gus Roy bermonolog, penulis bertanya-tanya mengapa bliyonya mengambil isu lingkungan untuk disampaikan kepada muda-mudi, mahasiswa dan pemuda sekitar di STKIP PGRI Jombang malam itu. Apakah isu lingkungan hal yang cukup nyambung ke pemuda-pemudi Jombang? Bagaimana soal kemanusiaan? Apakah tidak cukup menarik? Apakah soal lingkungan memang cukup urgensi? Penulis cukup terinformasi bahwa Gus Roy sendiri cukup punya kapasitas untuk menyampaikan berbagai isu yang ditimbulkan akibat dari hidup dan berkembangnya kapitalisme. Ini bisa dibuktikan bagaimana bliyo sedikit bercerita bahwa dalam sejarah, musik-musik yang dimainkan masyarakat kekinian pada jamannya dibawakan dengan semangat perlawanan pada ketidak-adilan. Gus Roy menyebut tentang Blues, Hip-hop, lalu audiens berseru Reggae yang diiyakan oleh bliyo.

Iksan Skuter, sang bintang tamu yang mengundang Gus Roy untuk berbicara barang sejenak juga cukup menarik. Namun penulis merasa ada hal yang kontradiktif pada hal-hal yang telah disampaikan Iwan di sela-sela permainan musiknya. Di awal pertunjukkannya, bliyo menceritakan salah satu latar belakang lagunya dari album awalnya untuk mengejar mimpi, lalu  disambung dengan mengajak audiens untuk mendukung produk lokal, dan Iksan juga sempat menerangkan tentang persaingan, kompetitisi, lokal vs ibukota, dan hal-hal yang biasa diucapkan oleh intelektual ekonomi borjuasi dan motivator-motivator dengan bayaran perjam.

Namun saat Iksan membawakan lagu-lagu di album terbarunya, Benderang Terang, apa yang disampaikan bliyo lebih jujur, lebih bermuatan politis dan lebih kiri. Bahkan salah satu kawan penulis sempat ingin menangis saat Iksan membawakan lagu Kereta, mengenang kereta api sebelum di reformasi besar-besaran seperti sekarang.

Zine yang dibawa oleh tim Benderang Terang Tour juga hal yang menarik. Muatannya benar-benar kiri, ditulis dengan menggunakan metode materialisme historis. Zine ini mengungkapkan sejarah perkebunan kopi di Indonesia, yang mana dimulai di era tanam paksa (culture stelsel/preanger stelsel) Hindia Belanda yang menghasilkan keuntungan yang sangat banyak bagi negeri Belanda setelah kasnya dikuras habis oleh Perang Diponegoro.

Penutup: Ancaman yang Menghadang

Tak ada masalah dengan peran serta kolektif dari komunitas Jombang yang ikut mendirikan lapak-lapak. Toh, penulis cukup yakin semakin bertambahnya usia dari Kebun Rupa yang digagas oleh kawan-kawan Terumbu Rupa, akan semakin banyak kolektif-kolektif lain yang ikut mendukung adanya acara ini. Namun dibalik itu semua, penulis ingin kawan-kawan memperhatikan sebuah peristiwa-peristiwa yang hadir dalam beberapa minggu terakhir.

Dalam minggu ini beberapa kawan pemerhati aktivisme dan kebudayaan dibuat berang oleh ulah ormas intoleran yang mengatasnamakan agama yang membubarkan acara demi acara. Peristiwa pembubaran paksa acara Lady Fast di Yogya kemarin cukup menarik perhatian yang luas. Meskipun peristiwa di Yogya ini bukan yang pertama kali, namun jauh-jauh hari telah banyak pembubaran paksa oleh aktor yang sama. Menurut penulis ini membuktikan peristiwa pembubaran paksa ini tidak hanya terjadi di ibukota, namun di daerah-daerah juga terjadi hal yang sama.

Urusan mempertahankan kebebasan berpendapat, hak untuk berkumpul dan menyampaikan aspirasi telah terancam dengan ancaman yang cukup serius. Mungkin pada hari itu kawan-kawan Terumbu Rupa tidak mengalami masalah keamanan ini, namun siapa tahu suatu hari nanti STKIP atau Jombang umunya juga mengalami hal yang sama.

Di media sosial sendiri, selain banyak mengutuk acara tersebut, namun tak sedikit pula yang menawarkan pembedahan masalah dan solusi. Mulai dari kawan-kawan anarkis sampai diaspora Indonesia yang berada di luar negeri memberikan pandangan dan solusi. Hal inilah yang mungkin penulis harapkan kawan-kawan Terumbu Rupa untuk diperhatikan. Tabik.***

Bacaan Lebih Lanjut:
- Nosa Normanda, Daftar Cara Membunuh Skena | Jakartabeat http://www.jakartabeat.net/kolom/konten/daftar-cara-membunuh-skena-dengan-ormas
- Kolektif Betina, Kronologi Pembubaran Paksa Acara LadyFast 2 April 2016 | Kolektif Betina’s Facebook Page https://www.facebook.com/betinakolektif/posts/516330661904004
- Windu Jusuf, Mengapa Orang Marah Perlu Diorganisir? | Rubrik Oase, Indoprogress http://indoprogress.com/2016/03/mengapa-orang-marah-perlu-diorganisir/
- @anarkisorg, Kumpulan Twit #FaktaFasis https://storify.com/aliasjojoz/faktafasis-by-anarkisorg/preview


Mochammad IH adalah murid yang sedang menempuh pendidikan di salah satu Pondok Pesantren di Jombang, bisa dihubungi lewat twitter @aliasjojoz

2 comments: