Wednesday, April 20, 2016

Feminisme dan Islam

oleh Mochammad IH

Tanggapan untuk Tsamrotul AM

Dalam tulisan “Perempuan Bukan ‘Tiyang Wingking’”, Tsamrotul menjelaskan panjang lebar bagaimana institusi agama, dalam hal ini Islam secara tidak langsung mendukung apa yang diperjuangkan oleh feminisme, yaitu kesetaraan gender dengan menyebutkan berbagai tafsiran dari Alqur’an yang mendukung kesetaraan gender.

Tulisan Tsamrotul bukannya tanpa kekurangan, namun penulis melihat tulisannya sebagai awal dari sebuah diskusi dengan tema yang lebih besar tentang isu kesetaraan gender dalam Islam. Nah tulisan ini akan menyampaikan hal-hal yang luput disampaikan oleh Tsamrotul, berupa pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab oleh tulisan Tsamrotul sebelumnya.

Apa yang Diperjuangkan Feminisme

Menurut hemat saya, feminisme muncul sebagai reaksi atas ketimpangan relasi kuasa atas pembagian tugas dalam gender akibat patriarki. Sekelompok gender tertentu merasa lebih berkuasa daripada gender yang lain. Misalnya kita ambil kasus perkosaan, pelaku merasa lebih berkuasa dengan memaksa si korban menjadi objek seksualnya. Dalam pandangan pelaku, korban tak lebih dari objek seksual, bukan manusia sebagai subjek yang memiliki kehendak bebas. Seringkali juga dikaitkan dengan sifat memiliki, hingga korban hanya dianggap sebuah benda (properti).

Feminisme mendukung kebebasan dan kesetaraan gender. Karena kebebasan tanpa kesetaraan akan menjadi ketimpangan, sedangkan kesetaraan tanpa kebebasan akan menjadi penindasan. Jadi gerakan feminisme bukan bertujuan untuk membalik struktur patriarki menjadi matriarki, perempuan untuk menguasai lelaki sebagaimana yang sering dituduhkan. Itu sama saja mereka berperilaku seperti hal yang mereka lawan. Feminisme sendiri memiliki berbagai varian yang seringkali berbeda bahkan bertentangan satu sama lain.

Isu Feminisime Dalam Islam

Meskipun Tsamrotul menerangkan berbagai dasar untuk mengkuatkan argumen bahwa Islam mendukung kesetaraan gender, ia sama sekali tak berbicara mengenai isu-isu yang cukup ramai diperbincangkan ketika memperbincangkan feminisme dalam Islam. Contohnya poligami, bagaimana praktek poligami dijauhkan dari kajian historisnya pada jaman Nabi Muhammad, bagaimana syarat dan pra-syarat poligami dalam prakteknya juga sering dikhianati. Lalu isu pernikahan anak, bagaimana memperbandingan kasus Rasululloh menikahi Aisyah dengan pernikahan Syekh Puji. Isu-isu seperti inilah yang perlu dikaji, didiskusikan dan digali oleh umat Islam untuk menghadapi jaman, karena Islam dan Feminisme sama-sama berangkat dari ketidak-adilan.

Kemudian bagaimana perempuan dalam sejarah peradaban Islam 15 abad ini tidak hanya dijadikan fosil-fosil cerita seperti yang dilakukan Tsamrotul terhadap nama-nama perempuan yang diabadikan oleh Alqur’an. Ada tugas untuk mengkaji pemikiran nama-nama perempuan yang diabadikan dalam Alqur’an ini, bagaimana kisahnya, apa saja pemikirannya, apa saja keberhasilannya, apa saja harapannya terhadap Islam di masa depan dan hal-hal yang perlu diteruskan oleh generasi Islam di masa depan.

The Personal is Political

Wujud patriarki begitu banyak dan bisa hadir dalam wujud sederhana seperti pakaian. Pengalaman patriarki seseorang bisa sangat berbeda dengan pengalaman patriarki lainnya. Misalnya, bagaimana perjuangan ibu-ibu Rembang melawan patriarki berwujud pabrik semen. Perjuangan buruh-buruh pabrik perempuan melawan patriarki yang berwujud pada kebijakan perusahaan yang meniadakan cuti haid. Perjuangan FEMEN dalam sejarahnya melawan patriarki yang berwujud penjualan perempuan-perempuan Eropa Timur yang dijadikan budak seks dan pelacur. Mama-mama di Papua melawan patriarki dalam wujud rasisme pendatang yang memenuhi pasar di tanah mereka.

Perbedaan-perbedaan subjektivitas inilah yang seringkali menjadi penghalang bagi gerakan feminis untuk bersatu. Saling sindir dan mengaku penindasan dirinya yang paling dalam seringkali menjadi bibit-bibit perpecahan. Namun hal-hal seperti ini yang harusnya dimengerti oleh orang yang mengaku feminis dimanapun, bahwa patriarki berwujud dalam bentuk apapun, maka feminisme sebagai bentuk perlawanan akan juga muncul dalam bentuk yang berlainan.

Apabila perempuan bersuara (atau menulis) bahwa dirinya merasa adanya ketidak-adilan dalam kehidupan sehari-harinya hanya karena perbedaan gender, maka langkah awal untuk menjadi feminis sudah dilakoninya. Selanjutnya adalah mengorganisasi perempuan-perempuan yang mengalami pengalaman yang sama. Namun tidak berdosa untuk mengikutsertakan laki-laki dalam perjuangan melawan ketidak-adilan.***

Kepustakaan:


-          Perdana Putri, [Drabble] The Personal is Still Political: Catatan Singkat tentang Feminisme | Larung dan Gula-Gula Kapas – Paradoks Melulu https://parasaradanatri.wordpress.com/2016/03/03/the-personal-is-still-political-catatan-singkat-tentang-feminisme/


-          Tsamrotul AM, Perempuan Bukan ‘Tiyang Wingking’ | Subyektif Zine http://subyektifzine.blogspot.co.id/2016/03/perempuan-bukan-tiyang-wingking.html




Mochammad IH, sedang belajar di salah satu Pondok Pesantren di Jombang.

No comments:

Post a Comment