Monday, June 13, 2016

Pornografi dalam Perspektif Islam




Oleh Tsamrotul AM

Kasus asusila di indonesia ini sudah selayaknya fenomena gunung es, yang tampak dipermukaan sedikit namun realitasnya sangat banyak sekali. pelakunya mulai dari remaja sampai dengan yang sudah lanjut usia, tak dapat di pungkiri di negeri yang terkenal taat beragama yang semestinya beradab dan taat peraturan, terjadi kasus yang demikian memalukan. Apakah kita harus menutup mata dengan semua ini ? tentunya tidak, ini adalah problem, kita harus membuka mata selebar-lebarnya agar tidak terjadi kasus yang sama dalam waktu yang berbeda. Dalam hal ini Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa penyebab tindakan asusila, kekerasan seksual adalah dari sajian pornografi dalam jaringan internet yang berkembang luas, Namun benarkah demikian ? 

Pornografi berasal dari dua kata, yaitu porno dan grafi. Porno berasal dari bahasa yunani, porne artinya pelacur, sedangkan grafi berasal dari kata graphein yang artinya ungkapan atau ekspresi. Secara harfiah pornografi berarti ungkapan tentang pelacur atau prostitusi dalam suatu media atau alat komunikasi. Ungkapan tersebut berupa sajian tulisan, suara, gambar, dan video. Sajian-sajian ini  sudah menjadi santapan mayoritas masyarakat Indonesia dalam sehari-hari, di era modern seperti sekarang ini. Jika kita membahas tentang porno tentu saja tidak lepas dengan bahasan tentang seksual, yang mana sajian porno tersebut adalah perangsang prima dan akses langsung akan bangkitnya nafsu seksual seseorang. Sajian pornografi ini menghibur, menyenangkan, dan marketable (laris manis) dipasarkan, karena segala yang beraroma seks memang menyenangkan. Sigmund Freud (Bapak Psiko Analisis) mengatakan bahwa seks merupakan kebutuhan asasi manusia dan motivator terbesar  bagi semangat kerja dan prestasi seseorang. Dan seks merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan normal manusia.

Siapapun orangnya pasti senang dengan yang berbau seks, mulai dari gelandangan, pengemis, buruh, pengusaha, pejabat, guru, dosen, bahkan ustadz sekalipun senang dengan hal yang demikian. Persoalannya apa yang menjadi kesenangan itu dibiarkan liar begitu saja, asal hati senang atau sebaliknya dikendalikan dan diarahkan sesuai dengan ketentuan norma agama dan norma susila. Disuatu sisi seks itu bisa menjadi kekuatan seseorang dalam menyemangati kinerja. Namun disisi lain seks bisa juga menjadi kekuatan yang amat destruktif bagi tatanan sosial dan adab susila apabila dibiarkan liar dan diumbar longgar. Dengan begitu letak persoalan atau dampak negatif dari sajian pornografi pada kasus asusila sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh sajian porno itu sendiri, melainkan juga dari adanya seseorang yang tidak bisa mengendalikan diri dari sajian tersebut, sajian pornografi bisa berdampak positif dan bisa berdampak negatif, walaupun potensi negatifnya lebih sering muncul dan lebih besar porsinya dalam kehidupan nyata.

Hal ini dapat kita ketahui dari maraknya kasus asusila pada remaja yang sejatinya masih usia sekolah, banyaknya fasilitas yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya untuk dapat mengakses dunia internet, kurangnya perhatian dari orang tua serta adanya pengaruh lingkungan yang kurang baik, menjadikan anak mudah untuk mengakses sajian pornografi, yang selanjutnya menjadi sajian yang amat sangat disenangi, dan menjadi candu dalam otaknya, yang semula tabu pun dianggap menjadi biasa dan lebih parah anak tersebut menirukan apa yang ada dalam sajian tersebut, karena anak tersebut belum bisa mengendalikan diri.

Jika membahas Pornografi dalam perpektif islam, maka hal ini tidak dapat dipisahkan dari pembahasan pembahasan tentang aurat, karena Pornografi lebih bersumber pada aurat atau setidaknya berdimensi pada aurat, sementara membahas tentang aurat mesti merujuk pada sumber utama hukum islam.

Alloh SWT berfirman dalam surat Al-A’roof ayat 26 yang artinya “hai anak Adam (manusia) sungguh kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi aurat mu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik, yang demikian itu adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, agar mereka selalu ingat”

Dalam surat Annur ayat 30-31 “Katakan kepada para laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kehormatan, karena yang demkian itu lebih bersih bagi mereka. Sesungguhnya alloh maha mengetahuiapa yang mereka perbuat (30). Dan katakan kepada perempuan yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan kecuali (biasa) nampak dari padanya.... Dan janganlah mereka menghentakkan  kaki agar perhiasan yang mereka sembunyikan dapat diketahui. Dan bertaubatlah kepada Alloh, hai orang-orang beriman agar kamu semua beruntung (31)”

Al-quran surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya “ hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min, hendaklah  mereka menjulurkan jilbab keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Alloh sungguh maha pengampun lagi maha penyayang”

Ayat-ayat diatas secara jelas menegaskan kepada kita bahwa siapapun yang mengaku beriman baik laki-laki  ataupun perempuan harus mampu mengendalikan nafsu dengan menahan pandangan yang menjurus pada nafsu birahi diluar koridor  yang diperbolehkan agama, harus menjaga kehormatan, dan tidak memamerkan perhiasan kecuali yang sudah lazim terlihat, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial yang bisa berakibat timbulnya kejahatan, agar terpelihara kesuciaannya, selain itu juga memelihara harga diri dan menjaga martabat sebagai manusia itu sendiri, karena sesungguhnya manusia adalah makhluk yang paling mulya, yang mempunyai cipta, rasa dan karsa, yang tidak dimiliki makhluk lainnya.

Para ushul fikih menghukumi mubah atas sajian pornografi, namun kemubahannya ini bisa berubah menjadi haram ketika sajian tersebut menjadi sarana yang menjerumuskan pada tindakan yang haram (tindakan asusila). Karena itu kemubahan ini juga tidak berlaku untuk penyebarluasan atau propaganda pornografi yang akan memiliki dampak negatif bagi masyarakat yang tidak bisa mengendalikan diri. Dengan begitu alangkah baiknya jika seseorang dapat mengatur ketentuan terhadap sajian pornografi agar efek negatif dari sajian tersebut  bisa dihindari atau setidaknya bisa diminimalisir. Dalam perspektif hukum islam sendiri ada fiqiyyah yang amat populer yakni “Dar’ul mafaasid muqoddamun ‘ala jalbil mashoolih” yang artinya “menghindari kerusakan itu lebih diprioritaskan dibanding mencari kemaslahatan”.***

Tsamrotul AM adalah murid dari Al'Isti'aadu lil Maqoshidil Qur'an

Daftar Pustaka  
Ahmad Zahro, Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Islam. http://www.wattpad.com/1245781-batasan-pornografi-dan-pornoaksi-menurut-islam
Pemerintah Akui Pornografi Memicu Tindakan Asusila | Antara News http://www.antaranews.com/berita/561004/pemerintah-akui-pornografi-memicu-tindakan-asusila 

Monday, June 6, 2016

Perempuan dan Kosmetik



Oleh Mochammad IH

Tulisan ini hanya sekedar refleksi saja tentang fenomena produk kecantikan yang semakin terjangkau oleh masyarakat hari ini. Beberapa sumber data tidak bisa disebut ilmiah, karena mengandalkan ingatan saya dan beberapa bacaan yang lupa darimana sumbernya. Namun semoga tulisan ini menjadi sumbangan. Ditambah tulisan ini akan memakai beberapa data dari wikipedia, yang mana dalam dunia ilmiah tidak diperbolehkan.

Latar Belakang

Seperti disebutkan sebelumnya, saya melihat ada fenomena khusus bagaimana begitu mudahnya masyarakat menjangkau produk-produk yang diproduksi oleh industri kecantikan hari ini. Ini berawal dari beberapa teman saya yang satu per-satu mulai belajar untuk mengekspresikan dirinya dengan produk-produk kecantikan tersebut, sebut saja misalnya kosmetik pada wajah (tata rias). Fenomena ini diikuti dengan cibiran dari berbagai pihak tentang posisi produk kecantikan itu sendiri pada masyarakat, sehingga timbul semacam kontroversi yang beredar. Hal ini membuat saya tertarik untuk merefleksikan kembali bagaimana saya bersikap kepada produk-produk kecantikan ini.

Dalam sejarah, penggunaan kosmetik sudah digunakan sejak peradaban manusia kuno[1]. Digunakan oleh bangsa Sumeria, peradaban Indus Valley sampai Mesir Kuno. Di era kontemporer, kosmetik menjadi industri yang sangat besar dengan permintaan yang cukup tinggi.

Pengonsumsian Gaya Hidup

Apa alasan kosmetik diciptakan? Apa alasan orang-orang menggunakan kosmetik? Apakah sama? Atau berbeda? Dalam pemikiran Jean Baudrillard, pola konsumsi masyarakat modern berubah dari kebutuhan hidup menjadi gaya hidup, ini yang disebut oleh Baudrillard dengan mengonsumsi simbol. Pola konsumsi ini didukung dengan adanya instrumen yang bernama simulacra lalu menghasilkan hiperealitas.[2][3]

Saya curiga dengan semakin terjangkaunya kosmetik itu merupakan hasil penciptaan industri kecantikan untuk memompa konsumsi tinggi pada kosmetik. Mereka menggunakan simulacra, yaitu dengan iklan-iklan kosmetik lalu timbul hiperrealitas dalam benak masyarakat ketika mereka menginginkan semua yang ada di iklan kosmetik tersebut: mulai dari produk kosmetiknya, model yang memakainya, wajah dan tubuh si model, dsb[4]. Lalu kemudian hal ini menciptakan distingsi, yaitu pembedaan kelas karena daya konsumsi yang berbeda. Misal, orang-orang mendapat posisi tertentu ketika menggunakan kosmetik tata rias, sedang yang tidak menggunakannya biasanya diletakkan di bawahnya bahkan bisa menjadi pihak yang disubordinasi. Ini menyimpulkan bahwa kosmetik adalah sebuah pengonsumsian akan gaya hidup.

Kosmetik Sebagai Bentuk Ekspresi

Saya belum begitu banyak membaca soal argumentasi para feminis mengenai kosmetik, produk kecantikan namun saya pernah mendengar bahwa kosmetik khususnya make-up atau tata rias adalah sebuah bentuk ekspresi seseorang. Ekspresi saya pikir juga termasuk sebuah hak asasi manusia dan kita tak bisa melarang seseorang untuk menunjukkan ekspresinya, karena itu hak mereka. Ekspresi juga berkaitan dengan seni. Apakah tata rias itu bisa disebut dengan karya seni? Maka bila termasuk dalam dunia seni maka kita perlu mengkritiknya pula sebagai kritik seni. Terlebih bila kita melihat dengan perspektif seni, mungkin kita bisa mendapat perspektif baru dalam memandang kosmetik.

Kosmetik vs Ilmu Pengetahuan

Protes keras terhadap kecenderungan pola konsumsi daripada masyarakat modern pernah saya baca pada salah satu aktivis buruh perempuan. Bagaimana buruh perempuan yang berada di lingkungannya cenderung lebih memilih membeli kosmetik daripada membeli buku untuk mendukung wawasan dan kecerdasannya. Dalam dunia aktivisme sendiri (dalam asumsi saya), ilmu pengetahuan dalam buku-buku sangat mendukung perjuangan perempuan terlebih buruh perempuan di dunia ketiga. Banyak sekali perempuan-perempuan cerdas lahir dan ikut bergerak dalam perjuangan perempuan lahir dari dunia akademik. Apakah (industri) kosmetik berperan dalam perjuangan perempuan, khususnya perjuangan buruh perempuan di dunia ketiga?

Penutup

Tulisan ini jauhlah dari kata sempurna, sehingga urgensi akan penulisan lengkapnya sangat tinggi. Namun saya berharap tulisan ini menjadi sebuah pemicu diskusi yang lebih panjang tentang bagaimana masyarakat modern merefleksikan kembali penggunaan kosmetik dalam hidupnya sehari-hari. Tabik.

Mochammad IH adalah murid di salah satu pondok pesantren di Jombang. Bisa ditemui di akun twitter @aliasjojoz

 

Kepustakaan

[1] Cosmetics – Wikipedia, the free encyclopedia https://en.wikipedia.org/wiki/Cosmetics
[2] Wahyu Budi Nugroho; Sketsa Pemikiran Jean Baudrillard; Kolom Sosiologi http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2011/09/sketsa-pemikiran-jean-p-baudrillard.html
[3] Jenny Ismoyo; Masyarakat Konsumsi Menurut Baudrillard; a Delusive Thinker http://www.ismoyojessy.id/2011/11/masyarakat-konsumer-menurut-baudrillard.html
[4] Ibid.