Oleh Mochammad IH
Tulisan ini hanya sekedar refleksi saja tentang fenomena produk
kecantikan yang semakin terjangkau oleh masyarakat hari ini. Beberapa sumber
data tidak bisa disebut ilmiah, karena mengandalkan ingatan saya dan beberapa
bacaan yang lupa darimana sumbernya. Namun semoga tulisan ini menjadi
sumbangan. Ditambah tulisan ini akan memakai beberapa data dari wikipedia, yang
mana dalam dunia ilmiah tidak diperbolehkan.
Latar Belakang
Seperti disebutkan sebelumnya, saya melihat ada fenomena
khusus bagaimana begitu mudahnya masyarakat menjangkau produk-produk yang
diproduksi oleh industri kecantikan hari ini. Ini berawal dari beberapa teman
saya yang satu per-satu mulai belajar untuk mengekspresikan dirinya dengan
produk-produk kecantikan tersebut, sebut saja misalnya kosmetik pada wajah
(tata rias). Fenomena ini diikuti dengan cibiran dari berbagai pihak tentang
posisi produk kecantikan itu sendiri pada masyarakat, sehingga timbul semacam
kontroversi yang beredar. Hal ini membuat saya tertarik untuk merefleksikan
kembali bagaimana saya bersikap kepada produk-produk kecantikan ini.
Dalam sejarah, penggunaan kosmetik sudah digunakan sejak
peradaban manusia kuno[1]. Digunakan oleh bangsa Sumeria, peradaban Indus
Valley sampai Mesir Kuno. Di era kontemporer, kosmetik menjadi industri yang
sangat besar dengan permintaan yang cukup tinggi.
Pengonsumsian Gaya Hidup
Apa alasan kosmetik diciptakan? Apa alasan orang-orang
menggunakan kosmetik? Apakah sama? Atau berbeda? Dalam pemikiran Jean
Baudrillard, pola konsumsi masyarakat modern berubah dari kebutuhan hidup
menjadi gaya hidup, ini yang disebut oleh Baudrillard dengan mengonsumsi
simbol. Pola konsumsi ini didukung dengan adanya instrumen yang bernama
simulacra lalu menghasilkan hiperealitas.[2][3]
Saya curiga dengan semakin terjangkaunya kosmetik itu
merupakan hasil penciptaan industri kecantikan untuk memompa konsumsi tinggi
pada kosmetik. Mereka menggunakan simulacra, yaitu dengan iklan-iklan kosmetik
lalu timbul hiperrealitas dalam benak masyarakat ketika mereka menginginkan
semua yang ada di iklan kosmetik tersebut: mulai dari produk kosmetiknya, model
yang memakainya, wajah dan tubuh si model, dsb[4]. Lalu kemudian hal ini
menciptakan distingsi, yaitu pembedaan kelas karena daya konsumsi yang berbeda.
Misal, orang-orang mendapat posisi tertentu ketika menggunakan kosmetik tata
rias, sedang yang tidak menggunakannya biasanya diletakkan di bawahnya bahkan
bisa menjadi pihak yang disubordinasi. Ini menyimpulkan bahwa kosmetik adalah
sebuah pengonsumsian akan gaya hidup.
Kosmetik Sebagai Bentuk Ekspresi
Saya belum begitu banyak membaca soal argumentasi para
feminis mengenai kosmetik, produk kecantikan namun saya pernah mendengar bahwa
kosmetik khususnya make-up atau tata rias adalah sebuah bentuk ekspresi
seseorang. Ekspresi saya pikir juga termasuk sebuah hak asasi manusia dan kita
tak bisa melarang seseorang untuk menunjukkan ekspresinya, karena itu hak
mereka. Ekspresi juga berkaitan dengan seni. Apakah tata rias itu bisa disebut
dengan karya seni? Maka bila termasuk dalam dunia seni maka kita perlu
mengkritiknya pula sebagai kritik seni. Terlebih bila kita melihat dengan
perspektif seni, mungkin kita bisa mendapat perspektif baru dalam memandang
kosmetik.
Kosmetik vs Ilmu Pengetahuan
Protes keras terhadap kecenderungan pola konsumsi daripada masyarakat
modern pernah saya baca pada salah satu aktivis buruh perempuan. Bagaimana
buruh perempuan yang berada di lingkungannya cenderung lebih memilih membeli
kosmetik daripada membeli buku untuk mendukung wawasan dan kecerdasannya. Dalam
dunia aktivisme sendiri (dalam asumsi saya), ilmu pengetahuan dalam buku-buku
sangat mendukung perjuangan perempuan terlebih buruh perempuan di dunia ketiga.
Banyak sekali perempuan-perempuan cerdas lahir dan ikut bergerak dalam
perjuangan perempuan lahir dari dunia akademik. Apakah (industri) kosmetik
berperan dalam perjuangan perempuan, khususnya perjuangan buruh perempuan di
dunia ketiga?
Penutup
Tulisan ini jauhlah dari kata sempurna, sehingga urgensi
akan penulisan lengkapnya sangat tinggi. Namun saya berharap tulisan ini
menjadi sebuah pemicu diskusi yang lebih panjang tentang bagaimana masyarakat
modern merefleksikan kembali penggunaan kosmetik dalam hidupnya sehari-hari.
Tabik.
Mochammad IH adalah murid di salah satu pondok pesantren di Jombang. Bisa ditemui di akun twitter @aliasjojoz
Kepustakaan
[1] Cosmetics – Wikipedia, the free
encyclopedia https://en.wikipedia.org/wiki/Cosmetics
[2] Wahyu Budi Nugroho; Sketsa Pemikiran Jean
Baudrillard; Kolom Sosiologi http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2011/09/sketsa-pemikiran-jean-p-baudrillard.html
[3] Jenny Ismoyo; Masyarakat Konsumsi Menurut
Baudrillard; a Delusive Thinker http://www.ismoyojessy.id/2011/11/masyarakat-konsumer-menurut-baudrillard.html
[4] Ibid.
No comments:
Post a Comment