Monday, June 6, 2016

Perempuan dan Kosmetik



Oleh Mochammad IH

Tulisan ini hanya sekedar refleksi saja tentang fenomena produk kecantikan yang semakin terjangkau oleh masyarakat hari ini. Beberapa sumber data tidak bisa disebut ilmiah, karena mengandalkan ingatan saya dan beberapa bacaan yang lupa darimana sumbernya. Namun semoga tulisan ini menjadi sumbangan. Ditambah tulisan ini akan memakai beberapa data dari wikipedia, yang mana dalam dunia ilmiah tidak diperbolehkan.

Latar Belakang

Seperti disebutkan sebelumnya, saya melihat ada fenomena khusus bagaimana begitu mudahnya masyarakat menjangkau produk-produk yang diproduksi oleh industri kecantikan hari ini. Ini berawal dari beberapa teman saya yang satu per-satu mulai belajar untuk mengekspresikan dirinya dengan produk-produk kecantikan tersebut, sebut saja misalnya kosmetik pada wajah (tata rias). Fenomena ini diikuti dengan cibiran dari berbagai pihak tentang posisi produk kecantikan itu sendiri pada masyarakat, sehingga timbul semacam kontroversi yang beredar. Hal ini membuat saya tertarik untuk merefleksikan kembali bagaimana saya bersikap kepada produk-produk kecantikan ini.

Dalam sejarah, penggunaan kosmetik sudah digunakan sejak peradaban manusia kuno[1]. Digunakan oleh bangsa Sumeria, peradaban Indus Valley sampai Mesir Kuno. Di era kontemporer, kosmetik menjadi industri yang sangat besar dengan permintaan yang cukup tinggi.

Pengonsumsian Gaya Hidup

Apa alasan kosmetik diciptakan? Apa alasan orang-orang menggunakan kosmetik? Apakah sama? Atau berbeda? Dalam pemikiran Jean Baudrillard, pola konsumsi masyarakat modern berubah dari kebutuhan hidup menjadi gaya hidup, ini yang disebut oleh Baudrillard dengan mengonsumsi simbol. Pola konsumsi ini didukung dengan adanya instrumen yang bernama simulacra lalu menghasilkan hiperealitas.[2][3]

Saya curiga dengan semakin terjangkaunya kosmetik itu merupakan hasil penciptaan industri kecantikan untuk memompa konsumsi tinggi pada kosmetik. Mereka menggunakan simulacra, yaitu dengan iklan-iklan kosmetik lalu timbul hiperrealitas dalam benak masyarakat ketika mereka menginginkan semua yang ada di iklan kosmetik tersebut: mulai dari produk kosmetiknya, model yang memakainya, wajah dan tubuh si model, dsb[4]. Lalu kemudian hal ini menciptakan distingsi, yaitu pembedaan kelas karena daya konsumsi yang berbeda. Misal, orang-orang mendapat posisi tertentu ketika menggunakan kosmetik tata rias, sedang yang tidak menggunakannya biasanya diletakkan di bawahnya bahkan bisa menjadi pihak yang disubordinasi. Ini menyimpulkan bahwa kosmetik adalah sebuah pengonsumsian akan gaya hidup.

Kosmetik Sebagai Bentuk Ekspresi

Saya belum begitu banyak membaca soal argumentasi para feminis mengenai kosmetik, produk kecantikan namun saya pernah mendengar bahwa kosmetik khususnya make-up atau tata rias adalah sebuah bentuk ekspresi seseorang. Ekspresi saya pikir juga termasuk sebuah hak asasi manusia dan kita tak bisa melarang seseorang untuk menunjukkan ekspresinya, karena itu hak mereka. Ekspresi juga berkaitan dengan seni. Apakah tata rias itu bisa disebut dengan karya seni? Maka bila termasuk dalam dunia seni maka kita perlu mengkritiknya pula sebagai kritik seni. Terlebih bila kita melihat dengan perspektif seni, mungkin kita bisa mendapat perspektif baru dalam memandang kosmetik.

Kosmetik vs Ilmu Pengetahuan

Protes keras terhadap kecenderungan pola konsumsi daripada masyarakat modern pernah saya baca pada salah satu aktivis buruh perempuan. Bagaimana buruh perempuan yang berada di lingkungannya cenderung lebih memilih membeli kosmetik daripada membeli buku untuk mendukung wawasan dan kecerdasannya. Dalam dunia aktivisme sendiri (dalam asumsi saya), ilmu pengetahuan dalam buku-buku sangat mendukung perjuangan perempuan terlebih buruh perempuan di dunia ketiga. Banyak sekali perempuan-perempuan cerdas lahir dan ikut bergerak dalam perjuangan perempuan lahir dari dunia akademik. Apakah (industri) kosmetik berperan dalam perjuangan perempuan, khususnya perjuangan buruh perempuan di dunia ketiga?

Penutup

Tulisan ini jauhlah dari kata sempurna, sehingga urgensi akan penulisan lengkapnya sangat tinggi. Namun saya berharap tulisan ini menjadi sebuah pemicu diskusi yang lebih panjang tentang bagaimana masyarakat modern merefleksikan kembali penggunaan kosmetik dalam hidupnya sehari-hari. Tabik.

Mochammad IH adalah murid di salah satu pondok pesantren di Jombang. Bisa ditemui di akun twitter @aliasjojoz

 

Kepustakaan

[1] Cosmetics – Wikipedia, the free encyclopedia https://en.wikipedia.org/wiki/Cosmetics
[2] Wahyu Budi Nugroho; Sketsa Pemikiran Jean Baudrillard; Kolom Sosiologi http://kolomsosiologi.blogspot.co.id/2011/09/sketsa-pemikiran-jean-p-baudrillard.html
[3] Jenny Ismoyo; Masyarakat Konsumsi Menurut Baudrillard; a Delusive Thinker http://www.ismoyojessy.id/2011/11/masyarakat-konsumer-menurut-baudrillard.html
[4] Ibid.

No comments:

Post a Comment