Oleh Mochammad IH
Pada Minggu (28/08/2016), saya berkesempatan menghadiri
sebuah acara (bisa disebut) pameran seni rupa yang diadakan kawan-kawan Jombang
Street Culture (JSC) Klan. Berlangsung di sudut sebuah perumahan yang sepi,
tepatnya di sebuah rumah yang digunakan sebagai studio musik (Rushmini Studio) lalu
garasinya disulap menjadi (((ruang kebudayaan))). Sebenarnya acaranya
berlangsung selama tiga hari (26-28 Agustus 2016), namun saya baru bisa
menyempatkan hadir pada hari penutupannya. Awalnya saya mengira acara penutup
bakal menjadi acara puncak, ternyata bukan. Sempat juga tersesat untuk
menemukan lokasinya, namun akhirnya ketemu juga.
Setelah polemik yang cukup hangat di kalangan aktivis
pergerakan dan pegiat kebudayaan tentang perebutan ruang dan simpati massa,
saya pada awalnya cukup pesimis, skeptis dan tis tis lainnya jika mendatangi
acara-acara kebudayaan yang terlalu berjarak dengan massa rakyat, masyarakat
dan warga sekitar. Maka dari itu melihat lokasi acara Inget Rumah #2 yang cukup
terpencil dari kampung sedikit membuat saya kecewa. Apalagi mereka juga
bersikap telah menemukan lokasi sempurna layaknya “surga”. Seringkali saya
berpendapat saya lebih prefer memuji-muji acara mandiri yang dibuat oleh
sekelompok karang taruna sebuah dusun, daripada yang dibuat oleh anak muda
kelas menengah perkotaan (meskipun karang taruna tak lepas dari kritik, karena
saya belum tau sejarah terbentuknya karang taruna sendiri). Tapi pada akhirnya
saya khilaf sih, semuanya memang relatif. Gak bisa pukul rata menyalahkan acara
kebudayaan yang berjarak, juga gak bisa memuji buta acara yang otonom dan
merakyat.
Setelah membaca tulisan Nosa Normanda berjudul Daftar Cara
Membunuh Skena Dengan Ormas[1] untuk ke sekian kali, saya jadi paham meskipun
tidak paham-paham amat, bahwa membuat acara kebudayaan dengan membawa agenda
dengan penuh harap dan niat baik itu relatif, tidak serta merta langsung bisa mendapat
sambutan yang luas dari masyarakat, pasti mengalami sebuah proses dan perjuangan
akan ketetapan visi kebudayaan sejak awal.
Dalam tulisan bung Nosa yang lain[2] memang nyata terjadi
perebutan ruang di era demokrasi. Musuh kita, kaum anti-demokrasi seperti
organ-organ rekasioner semacam FPI memanfaatkan ruang-ruang yang ditinggalkan
oleh orang-orang demokrasi. Oleh anak-anak muda seperti kita, ruang-ruang ini
dianggap tak mewakili pergerakan anak muda yang dinamis. Ruang-ruang seperti
masjid, musholla, balai desa, dan semacamnya perlahan-lahan kehilangan semangat
demokrasi dan dimanfaatkan oleh organ-organ semacam FPI untuk
menumbuh-kembangkan organisasi dan cita-citanya. Dan akhirnya mereka ini yang
mengerti bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat, lebih bisa diterima
daripada anak-anak muda yang lebih berjarak. Akhirnya pada saat organ-organ ini
beraksi untuk bertindak sewenang-wenang membubarkan acara kebudayaan, tidak ada
perlindungan dari masyarakat sekitar. Karena masyarakat sekitar lebih percaya
kepada organ-organ ini. Hal ini, meskipun belum terjadi di Jombang, namun tidak
bisa tidak kemungkinan besar akan terjadi, jadi lebih baik bersiap-siap.
Manifesto yang Perlu Disebarkan, Apresiasi Karya yang Perlu Dibangun
Di dekat akses masuk, ada sebuah banner besar yang lumayan
tinggi. Banner ini ternyata berisi tulisan yang cukup panjang mengenai
informasi acara Inget Rumah #2. Di dalam tulisan ini seingat saya, berisi
tentang visi dan misi Inget Rumah #2 dan juga tentang tema acara pada saat itu,
teknologi.
Sepanjang pantauan saya selama acara, sedikit sekali
kawan-kawan yang hadir pada saat itu membaca tulisan panjang tersebut. Saat
saya membacanya memang perlu waktu yang tidak sedikit. Mungkin kawan-kawan
penyelenggara bisa mengambil contoh pameran-pameran yang membuat semacam buku,
pamflet, zine, dan semacamnya yang bisa dibaca lebih mudah. Buku/pamflet/zine
ini berisi tentang informasi-informasi pameran dan karya-karya yang ada dalam
pameran. Buku/pamflet/zine ini seringnya dijual pada saat pameran, tapi
terkadang juga dibagikan secara cuma-cuma. Atau mungkin bisa dibuatkan sebuah
website yang didalamnya berisi informasi-informasi pameran dan karya-karya yang
hadir di dalam pameran seperti Ok. Video – Indonesia Media Arts Festival (http://okvideofestival.org/web/id/)
yang menampilkan interpretasi atas karya-karya seniman media pada saat
festival.
Saya sendiri pernah mendengar bahwa salah satu usaha minimal
untuk mengapresiasi sebuah karya seniman rupa adalah berusaha bertanya pada
perupanya arti dari karyanya. Hal itu sering saya praktekkan kemudian, demi
menghargai karya sang seniman. Dalam Inget Rumah #2, dari sekian puluhan karya
yang dikurasi oleh penyelenggara, hanya ada dua karya yang bisa saya tanya
artinya kepada empunya karya.
Yang pertama adalah karya dari kawan saya, Hanafi (sayang
tidak ada dokumentasi fotonya). Karyanya berupa sebuah gambaran sisi gelap
bagaimana teknologi menjadi sebuah penghalang bagi manusia hari ini terhadap
realitas yang terjadi. Ia menggambarkan sosok gadis yang memakai payung yang
dibuat dari kepingan-kepingan keyboard ponsel, di bawah payung tersebut sosok
gadis menjadi cerah, sedangkan di luar payung, hanya ada kegelapan hitam pekat.
Konsepnya hampir mirip dengan konsep Spectacle milik Situasionis atau Simulacra
milik Baudrilarrd.
Yang kedua adalah karya dari kawan saya juga, Kafi (sayang sekali tidak ada dokumentasinya juga) yang
turut serta dalam komunitas Jombang Doodle. Seperti sebuah dikotomi karya
Hanafi, Kafi melihat teknologi lebih positif sebagai sesuatu hal yang
membebaskan dengan berbagai distribusi ilmu pengetahuan. Sosok kebebasan yang
dibawa oleh teknologi digambarkan olehnya berupa sosok patung liberty.
Distribusi ilmu pengetahuan yang dibawa teknologi semacam internet memang
mendorong sebuah perubahan zaman, tetapi perubahan tersebut tidak diimbangi
dengan perubahan kekuasaan. Memang dalam kasus Arab Spring, produk teknologi
seperti social media membantu konsolidasi untuk melaksanakan perubahan
kekuasaan, namun tidak semuanya membawa perubahan yang lebih baik—ini bisa
dihitung dengan jari, sebagian besar bahkan lebih buruk.
Dalam film Surplus- Terrorized into Being Consumers (2003),
ide awal penemuan teknologi adalah membuat kerja seorang manusia menjadi lebih
ringan, atau mungkin membuat manusia tidak perlu kerja lagi dan hidup tenang
tenang. Namun ternyata teknologi tidak membawa era dimana manusia tidak lagi
membutuhkan kerja sebagai upaya untuk mencari uang untuk ditukarkan pada
kebutuhan, malah kerja untuk mencari uang ini seperti tak ada bedanya bahkan
mungkin lebih berat. Dalam filsafat Marxian sendiri memang kerja merupakan
sebuah hal yang tak bisa dipisahkan dari manusia (aku kerja, maka aku ada),
namun kerja untuk mencari uang untuk ditukarkan kebutuhan merupakan hal yang
berbeda dengan kerja dalam maksud filsafat Marxian. Bahkan sempat terjadi
polemik dan kekhawatiran bila tenaga-tenaga kerja alat produksi seperti buruh
akan tidak mendapat sumber pemasukan kembali jika pabrik mempekerjakan robot.
Namun saya sempat membaca argumen seorang aktivis buruh bahwa kapitalisme tidak
akan pernah mempekerjakan robot karena akan menjadi senjata makan tuan,
meskipun mereka tak perlu menggaji seorang robot dan mendapat keuntungan dari
situ. Hal ini didasari bahwa pada akhirnya roda ekonomi berjalan karena para
buruh membeli barang produksi pabrik menggunakan uang hasil dari gaji yang ia
terima dari pabrik. Bila para pekerja seluruhnya diganti oleh produk teknologi
seperti robot, maka roda ekonomi akan berhenti, karena tidak ada yang membeli produk
yang dihasilkan para robot karena masyarakat tidak memiliki uang.
Harapan dan Potensi
Pagelaran kebudayaan seperti Inget Rumah sebenarnya memiliki
potensi yang bagus untuk menjadi sebuah gerakan kebudayaan. Mudahan saya tak
salah sangka, namun yang saya tangkap agenda yang dibawa para anak-anak muda
ini adalah berusaha untuk memanggil kawan-kawan yang berkarya, menuntut ilmu di
luar kota untuk kembali pulang dan bersama-sama membangun kota kecil Jombang.
Dalam sejarah sastra Indonesia sendiri, gerakan kebudayaan
yang paling fenomenal adalah gerakan kebudayaan yang digerakkan oleh Angkatan
’45 yang puncaknya mendirikan ruang untuk para seniman yang disebut sebagai
Gelanggang Seniman Merdeka. Meskipun pada akhirnya setelah Revolusi Agustus ’45
dianggap gagal yang merembet pada tamatnya Angkatan ’45 di hadapan polemik
Lekra vs Manifesto Kebudayaan, apalagi setelah ditinggal oleh mendiang Chairil
Anwar. Periode emas Angkatan ’45 sendiri pada saat jaman penjajahan Jepang dan
berakhirnya periode Revolusi Agustus ’45
(1950). Pada saat itu seluruh seniman muda bersatu dalam agenda yang
sama untuk mendukung Revolusi Agustus ’45.
Mungkin kawan-kawan penyelenggara bisa mengambil pelajaran
dari Angkatan ’45 untuk membuat sebuah ruang sebagai bersatunya para seniman
yang ‘pulang kampung’ untuk membangun Jombang. Sekian, tabik.[]
[1] Nosa Normanda, Daftar Cara Membunuh Skena Dengan |
JakartaBeat https://www.jakartabeat.net/kolom/konten/daftar-cara-membunuh-skena-dengan-ormas?lang=id
[2] Nosa Normanda, Ekstrimisme & Kaum Kota | EseiNosa https://eseinosa.wordpress.com/2016/04/12/ekstrimisme-kaum-kota/
Mochammad IH adalah editor Subyektif Zine. Sedang mondok.