Petani Yang Makmur Dan Transformasi Lapangan Pekerjaan Di Jombang Utara
Beberapa minggu yang lalu seorang teman meyakinkan saya bahwa dengan pertanian, bisa menghidupi keluarga. Padahal awalnya saya bertanya tentang transformasi sosial lapangan pekerjaan yang berubah karena pembangunan pabrik yang cukup masif di Jombang Utara. Hal-hal yang mempengaruhi mengapa dia yakin sekali hasil pertanian bisa mencukupi kehidupan seorang petani dilihat dari bahwa hasil pertanian bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tanpa menjualnya. Dia juga mengkritisi para kaum muda yang enggan meneruskan lahan pertanian orang tuanya. Rata-rata mereka lebih memilih untuk menjadi pekerja buruh pabrik (bagi yang tidak meneruskan sekolah), dan hal miris ditemuinya; bahwa melamar menjadi buruh pun tak ada jaminan untuk diterima kerja. Sehingga dia menemukan banyak lulusan-lulusan sekolah yang terpaksa menganggur menunggu panggilan kerja.
Lalu diskusi terhadap pertanian tersebut, saya bawa ke ranah media sosial. Kontradiksi yang saya temukan, karena ada pendapat kuat bahwa petani yang mempunyai hektaran lahan pertanian lah yang cukup makmur, dan petani yang hanya memiliki lahan pertanian beberapa meter tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan dengan menjadi buruh tani sekali pun[1]. Belakangan saya berpikir bahwa buruh tani pun harus punya serikat buruh.
Belakangan melihat pabrik-pabrik yang dibangun secara masif di daerah Jombang Utara membuat saya berpikir, bagaimana nasib para petani yang lahan pertaniannya diubah menjadi pabrik ya? Sedikit catatan pabrik-pabrik yang dibangun lokasinya berdampingan dengan area persawahan. Tak mungkin para petani banting setir menjadi buruh pabrik, karena para petani tak memenuhi syarat. Yang jelas diterima adalah para lulusan-lulusan pendidikan. Seolah-olah ada pilih kasih terhadap orang-orang yang tidak memiliki pendidikan yang mumpuni. Jadi apa mereka tidak berhak untuk menyambung hidup? Yah, pertanyaan-pertanyaan tentang kesejahteraan petani di lingkungan pabrik memang harus dijawab oleh studi.
*Mochammad IH adalah editor JURNAL SUBYEKTIF. Dia tak pernah mendapat pendidikan formal.