Wednesday, March 25, 2015

Petani Yang Makmur Dan Transformasi Lapangan Pekerjaan Di Jombang Utara

Petani Yang Makmur Dan Transformasi Lapangan Pekerjaan Di Jombang Utara

Beberapa minggu yang lalu seorang teman meyakinkan saya bahwa dengan pertanian, bisa menghidupi keluarga. Padahal awalnya saya bertanya tentang transformasi sosial lapangan pekerjaan yang berubah karena pembangunan pabrik yang cukup masif di Jombang Utara. Hal-hal yang mempengaruhi mengapa dia yakin sekali hasil pertanian bisa mencukupi kehidupan seorang petani dilihat dari bahwa hasil pertanian bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tanpa menjualnya. Dia juga mengkritisi para kaum muda yang enggan meneruskan lahan pertanian orang tuanya. Rata-rata mereka lebih memilih untuk menjadi pekerja buruh pabrik (bagi yang tidak meneruskan sekolah), dan hal miris ditemuinya; bahwa melamar menjadi buruh pun tak ada jaminan untuk diterima kerja. Sehingga dia menemukan banyak lulusan-lulusan sekolah yang terpaksa menganggur menunggu panggilan kerja.

Lalu diskusi terhadap pertanian tersebut, saya bawa ke ranah media sosial. Kontradiksi yang saya temukan, karena ada pendapat kuat bahwa petani yang mempunyai hektaran lahan pertanian lah yang cukup makmur, dan petani yang hanya memiliki lahan pertanian beberapa meter tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan dengan menjadi buruh tani sekali pun[1]. Belakangan saya berpikir bahwa buruh tani pun harus punya serikat buruh.

Belakangan melihat pabrik-pabrik yang dibangun secara masif di daerah Jombang Utara membuat saya berpikir, bagaimana nasib para petani yang lahan pertaniannya diubah menjadi pabrik ya? Sedikit catatan pabrik-pabrik yang dibangun lokasinya berdampingan dengan area persawahan. Tak mungkin para petani banting setir menjadi buruh pabrik, karena para petani tak memenuhi syarat. Yang jelas diterima adalah para lulusan-lulusan pendidikan. Seolah-olah ada pilih kasih terhadap orang-orang yang tidak memiliki pendidikan yang mumpuni. Jadi apa mereka tidak berhak untuk menyambung hidup? Yah, pertanyaan-pertanyaan tentang kesejahteraan petani di lingkungan pabrik memang harus dijawab oleh studi.

*Mochammad IH adalah editor JURNAL SUBYEKTIF. Dia tak pernah mendapat pendidikan formal.

Friday, March 20, 2015

Pandangan Subyektif Tentang Kriminalitas Di Mojoagung

Akhir-akhir ini selalu menemukan berita kriminal di headline cabang koran nasional yang fokus pada berita lokal. Entah karena memang konspirasi sebuah harian lokal, agar lebih bombastis. Gak tau. Tapi selain pemikiran seperti itu, jika kita normal, kita tak mau kriminalitas terjadi. Pernah tidak bertanya mengapa seseorang melakukan tindakan kriminal? Pernah tidak mendengar cerita dari sisi seorang pelaku tindak kriminal? Tulisan ini bukan tentang kejahatan kelas atas, namun tentang kejahatan-kejahatan kecil yang terdapat di lingkungan sekitar kita. Saya yakin tanpa hasil studi (jadi kalian bisa menyanggahnya), bahwa pelaku kriminal-kriminal kelas teri ini melakukan karena kebutuhan yang penting dan mendesak.

Suatu kasus perampokan di sebuah minimarket yang menggasak uang dan handphone namun yang menarik adalah para perampok ini juga merampas beberapa kaleng susu bayi. Jadi pernahkah terpikir mengapa seseorang perampok juga menggasak susu bayi? Jelas-jelas kalo bukan untuk anaknya untuk siapa lagi? Dan mengapa mereka memberi susus bayi hasil rampokan? Mereka tak sanggup membelinya? Iya, saya yakin begitu. Jadi faktor utama perampokan adalah ekonomi, bukan semata-mata karena mereka mau melakukannya (karena yang melakukan hal itu cuma para psikopat saja). Meski tanpa hasil studi, banyak sekali bukti-bukti nyata di kota lain yang angka kriminalitasnya tinggi, bahwa ada kesenjangan sosial antara si kaya dan miskin.

Si miskin ini tak punya kesempatan untuk mencari nafkah di tengah-tengah pembangunan masif Mojoagung. Dan kita tau sendiri bahwa Mojoagung menjadi pusat pembangunan Jombang karena begitu pentingnya jalur tersebut. Saya yakin jika memaparkan fakta, maka cukup miris yang terjadi di sana.

Jadi hal-hal yang dilakukan para aparatur pemerintah harusnya tak hanya menangkapi perampok, tapi juga melakukan pendekatan-pendekatan secara sosial-ekonomi. Melakukan pelatihan-pelatihan untuk mereka yang menjadi korban pendidikan yang kian mahal. Dan membuat mereka mandiri secara ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan, setidaknya sebelum kemandirian mereka dijegal oleh para kapitalis.

Jadi memang tak ada solusi yang menuntaskan semua, kecuali setelah masyarakat mendapat pendidikan yang bagus dan pemikirannya jauh berkembang serta mempergunakan hak politik tanpa menunggu lima tahun sekali. Pendidikan itu penting saudara-saudara dan biayanya harus ditanggung pemerintah seluruhnya.

*Mochammad IH adalah editor jurnal subyektif. Dia tak pernah mendapat pendidikan formal.

Thursday, March 5, 2015

Bukan Cuma Butuh Irigasi

Oleh Mochammad IH

Setiap pagi, selalu hari
Hidup seperti tak melangkah
Lalu apa ada pilihan lain?

Hanya mencari air untuk berkebun
Jarak layaknya kembali purba
Ironi pada abad dua puluh
Lalu apa ada pilihan?

Terjebak di dataran ini
Penuh tandus dan takdir
Lalu siapa yang mau peduli?
Lebih baik hidup di tengah kaum urban

25/02/2015/23.06pm

--------------------------------------------------------------------------------------

Selama setahun ini karena socalled “tugas pendidikan”, saya menghabiskan banyak waktu di sebuah desa bernama Puri Semanding, Plandaan, Jombang. Yah, meskipun hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi di sana, namun faktanya hanya beberapa orang pribumi yang berkomunikasi dengan saya dan teman-teman.

Desa ini termasuk dataran tinggi, namun tandus. Sumber-sumber air, sungai-sungai ada, namun hanya sekeliling situ saja, tak merata. Sebagian besar area desa ini adalah pertanian, umumnya adalah padi. Namun jalan yang saya lewati setiap hari, saya menemukan bahwa mereka tidak menanam padi, tapi menanam palawija (yang cocok dengan tanah tandus). Sedangka tanaman padi banyak ditemukan di lahan-lahan yang dekat dengan sumber air. Lalu dimana mereka-yang-menanam-palawija mendapat air? Mirisnya mereka menimba air di sumber air atau sumur terdekat, yang kadang lumayan jauh dari lahan mereka. Mereka jelas tidak bisa menimba air dengan banyak, jadi harus bolak-balik menimba air seharian hingga lahannya bisa tercukupi dengan air. Namun setelah panen, apakah hasilnya sepadan dengan usaha mereka? Melihat rata-rata penduduk desa masih berada di garis kemiskinan, sepertinya tidak.

Hal yang sama juga saya temui di sebuah dusun di Wonosalam, saya lupa namanya. Sekilas melihat tanah mereka ditumbuhi dengan palawija, sepertinya mereka senasib dengan di Puri. Namun ini perlu studi lebih lanjut karena belakangan saya mendengar bahwa hasil utama yang membangun perekonomian Wonosalam adalah hasil perkebunan dan pariwisata, apalagi tiap tahun Pemda membuat agenda rutin bertajuk KenDuren, pesta panen buah Durian.

Dataran tinggi memang bebas banjir, namun selepas hujan, air tidak berhenti karena mereka mengalir ke dataran yang lebih rendah. Harusnya di tahun 2015 ini ada teknologi yang membuat mereka tidak kesulitan memperoleh air di dataran tinggi.

Sebagai alternatif lapangan pekerjaan sebenernya ada dua pabrik di daerah Jombang bagian utara. Yaitu di Ploso dan Kabuh. Namun saya mendapati pabrik tak dibangun di Plandaan, mungkin belum, saya tak tahu.

Kembali lagi ke bahasan awal, jadi apa yang bisa kita lakukan? Harapan saya, ada insinyur-insinyur yang terjun ke desa dengan rasa penderitaan yang sama dengan membuat program mandiri bersama masyarakat untuk mengatasi masalah ini.

Ketika isu kampus sebagai pabrik tenaga kerja kerah putih berhembus, saya yang tidak menempuh pendidikan formal pun kaget. Setelah kaget, lalu bertanya: kalo memang kampus sebagai pabrik tenaga kerah putih, bukan idealnya sebuah kampus lalu kampus yang ideal harusnya menghasilkan apa? Menurut saya idealnya, kampus menghasilkan kaum intelektual yang membereskan masalah-masalah seperti ini dengan proyek berbayar maupun proyek mandiri. Dan tentunya sesuai kapasitas masing-masing. Karena kaum intelektual muda adalah harapan bangsa, siapa lagi kalo bukan anak-anak muda intelektual ini yang membangun bangsanya sendiri? Bukan menjadi kelas menengah dengan gengsi setengah mati, termakan gaya hidup hedonis.

*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tidak menempuh pendidikan formal. Kontak @aliasjojoz

Hal-Hal Miris Tentang Proton

Oleh Mochammad IH

Isu nasional yang sempat jadi fokus masyarakat beberapa waktu adalah proyek mobil nasional bekerjasama dengan sebuah perusahaan Malaysia. Uni Lubis adalah salah seorang wartawan senior yang lalu lalang di beberapa stasiun tv, dan dia lagi dalam investigasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan mobil nasional. Salah satu hasil investigasinya bisa kalian simak di sini. http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/85851-nasib-mobil-listrik-di-era-jokowi

Dari mengikuti Uni Lubis, saya sendiri membuat kesimpulan tentang hal-hal miris tentang kenyataan bahwa presiden kita yang menyetujui proyek tersebut.

1. Mobil Nasional kenapa dibuat di luar negeri? Jadi dimana harga martabat bangsa kita? Harusnya mobil nasional dibuat di dalam negeri dan bahan-bahan produknya hasil domestik bukan impor.

2. Fakta bahwa ada jaminan negara untuk keringanan pajak, dan lain-lain. Ini menandakan bahwa barang-barang lokal tidak dilindungi, sehingga kemungkinan ada ketimpangan harga yang sangat besar.

3. Dengan begitu adanya tujuan untuk membuat bangsa Indonesia (yang rakyatnya lebih dari 200 juta itu) menjadi pasar konsumsi barang impor oleh tetangga kita sendiri. Padahal membeli barang impor di negara kita saat ini adalah sebuah kerugian negara.

Dengan seorang pejabat Orde Baru yang berada di belakang proyek ini, jelas proyek ini berbau politis. Jadi mari kita gagalkan proyek Proton dan buat mereka bangkrut dengan tidak membelinya.

*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tidak menempuh pendidikan formal. Kontak @aliasjojoz

Monday, March 2, 2015

Janda-Janda Di Umur Belasan

Oleh Mochammad IH

Terimakasih, Bapak.
Aku tak membencimu
Keadaan membuat kita begini
Esensi pernikahan
Hanya memperbaiki nasib

Tapi tahukah Bapak?
Bahwa keadaan takkan berubah
Posisi tawar kita tak kuat
Hanya bisa menunggu
Intelektual merasa keresahan
Dan memperbaiki nasib kita

Bapak, bukan semua salahmu
Aku tau kau mencintaiku tulus.

25/02/2015/23.06pm

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu waktu gue pergi ke barbershop dan menemukan seseorang muda dan menarik asyik berbincang-bincang dengan sang pemilik. Setelah doi pergi, gue bertanya dan pemiliknya langsung menjawab bahwa dia keponakannya dan baru saja bercerai dari suaminya. Holycrap. Belum sampai situ, sang pemilik ini bercerita bahwa umurnya masih 17 tahun. Sang janda belum punya anak, btw.

Kasus yang sama dengan penyanyi dangdut yang itu (dinikahi sebulan lalu ditalak tiga), tapi perbedaan nasib bukan jadi fokus di sini, tetapi bahwa praktek pernikahan di umur belasan masih sering terjadi. Hal ini harusnya menjadi pemicu sebuah studi, dan beberapa hasil studi yang gue temukan di google. Dan studi studi ini menggambarkan betapa kompleks masalah ini mulai dari pemikiran para orang tua, paradigmanya yang sudah umum (seakan-akan tidak ada rasa kemanusiaan!) hingga akibat-akibatnya di masyarakat. Kebanyakan angka pernikahan di bawah umur terjadi karena hamil di luar nikah, dan ini termasuk dengan desakan orang tua yang menikahkan anaknya. Beberapa akibat yang terjadi karena pernikahan di bawah umur menurut studi: KDRT, karena mental yang kurang siap untuk membangun rumah tangga. Resiko meninggal karena reproduksi, bahwa fisik yang muda dan belum matang berpotensi tidak siap. Terputusnya akses pendidikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa orang menikah tak bisa mengikuti pendidikan.[1]

Sebelum gue mencari-cari hasil studi di google, sebenernya gue membuka sebuah diskusi di Facebook soal pernikahan di bawah umur ini. Dalam komentar-komentar yang gue terima, kita semua setuju bahwa pernikahan di bawah umur itu tidak relevan dengan zaman sekarang, namun kita berbeda-beda melihat akar permasalahannya. Ada yang berpendapat cuma soal pemikiran/pendidikan para orang tua. Gue waktu itu setuju bahwa masalah pendidikan dan kemiskinan adalah masalahnya. Pendidikan: karena orang tua masih merasa memiliki hak untuk menikahkan anak yang dirasa membebani orang tuanya, karena jika dinikahkan orang tua tersebut bisa membebankan ke pihak suami. Kemiskinan: mahalnya biaya pendidikan, kurangnya lapangan kerja atau lapangan kerja yang ada tidak relevan dengan sistem. Namun satu hal yang gue kecewakan adalah bahwa ada yang memaparkan solusi untuk menunggu, karena adanya proses jangka panjang dengan mengubah paradigma masyarakat umum dari pihak-pihak intelektual yang di kota untuk meluruskan paradigma-paradigma keliru di desa. Hell no, gue sama sekali gak setuju dengan ini. Harusnya kita bergerak secara masif untuk mengkampanyekan hal ini di masyarakat.

[1]BKKBN: Kajian Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi Di Indonesia, Dampak Overpopulation, Akar Masalah Dan Peran Kelembagaan Di Daerah.

*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tidak menempuh pendidikan formal. Kontak @aliasjojoz

Sunday, March 1, 2015

Iklan Layanan Masyarakat: Dilarang Merokok Bagi Orang Miskin

Oleh Mochammad IH

Selama ini gue termasuk orang yang mendukung industri rokok/kretek sebagai nafas negara. Mengamini kata mereka sebagai warisan budaya. Tapi disadarkan ketika mendapati kenyataan bahwa harga rokok yang kelewat mahal. Lalu sempat mengalami penderitaan ketika uang saku habis karena dihabiskan untuk merokok. Rokok sekarang menjadi kebutuhan primer yang termasuk dalam makan (setidaknya bagi gue). Tulisan ini bukan tentang kesehatan, tapi bagaimana pandangan subyektif gue tentang relasi rokok dan kemiskinan.

Rokok itu adiktif? Orang luar sana bilang begitu. Tapi industri rokok gencar sekali dalam menggunakan dana CSR. Seakan-akan dosa mereka terobati karena telah melakukan pembangunan yang dicitrakan. Yang lucu adalah ketika ada pelarangan bagi mereka membiayai kegiatan olahraga, seni dan budaya, gue mendapati mereka bertransformasi dengan wajah baru. Robin Hood masih bergentayangan.

Tuntutan subyektif gue cuma satu: kesejahteraan bagi seluruh petani tembakau, para buruh dan konsumen. Konsumen di sini tidak terlalu diperhatikan kesejahteraannya, dia tanpa pernah disadarkan bahwa membeli produk mereka sama dengan kemiskinan. Sebenernya dengan harganya yang mahal harusnya mereka berpikir bahwa mereka akan menjadi miskin, atau bangsa kita ini kelewat terlalu bodoh untuk berpikir memakai otak?

Kalau ditarik jauh kembali, rokok bukanlah penyebab kemiskinan melanda bangsa ini. Rokok merupakan sebuah produk kelas berkantong tebal, jadi apalah arti rokok bila harganya murah? Apalah arti rokok bila bangsa ini terbebas dari kemiskinan? Jadi pada dasarnya bangsa ini saat sekarang belum sanggup membeli rokok sebungkus sehari.

*Mochammad IH adalah editor jurnal subyektif. Dia tak menempuh pendidikan formal.