Sunday, March 27, 2016

Tan Malaka: Yang Butuh atau Yang Berhak?



Oleh Mochammad IH

Dibalik suksesnya Belok Kiri Festival di Jakarta Februari lalu, ada beberapa sayap-sayap kiri lain yang memberi komentar sinis acara itu. Saya ingat, beberapa komentar sinis ini dijawab oleh salah satu pendukung Belok Kiri Festival dengan argumen yang lumayan menarik sih.

Menurut komentar tersebut, anak-anak muda generasi millenial yang hobi ikut DWP juga berhak dong untuk mengetahui bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Anak-anak muda yang hobi lari-lari malam juga berhak belajar untuk melawan ketidak-adilan. Anak-anak muda yang hobi mampir ke acara-acara kebudayaan juga berhak mempelajari materialisme dialektika, dan sebagainya.

Setelah hingar bingar Belok Kiri Festival berakhir, lalu tersebutlah salah satu acara teater di Bandung yang mementaskan kisah hidup Tan Malaka akan digagalkan oleh salah satu organ fasis paling fenomenal di negeri ini. Kebetulan akun sosial media Belok Kiri Festival ikut mem-blow up peristiwa ini hingga ramai, mengaduh sampai gaduh. Lalu saya menemukan komentar menarik di sosial media sebagai reaksi atas peristiwa ini.

Dalam komentar tersebut, acara teater ini dituduh menerima donor dari lembaga liberal, mementaskannya di tempat liberal dan hanya kelas menengah (orang-orang mampu) saja yang memiliki akses untuk menontonnya. Lalu menurut komentar tersebut, Tan Malaka sejatinya diletakkan di jalanan, (di ruang-ruang produksi, di tempat-tempat bercocok tanam, di sawah, di tempat nelayan mencari ikan, di desa-desa, di pabrik-pabrik, di kampung-kampung, di hutan-hutan). Interpretasi saya terhadap komentar ini adalah bahwa di tempat-tempat tersebutlah dimana terdapat orang-orang yang membutuhkan Tan Malaka, membutuhkan ajarannya, membutuhkan pemikirannya, membutuhkan bukunya.

Jadi Yang Butuh atau Yang Berhak? Saya pikir dua-duanya sangat penting. Jika generasi millenial perkotaan memahami ajaran Tan Malaka mungkin akan timbul gerakan mahasiswa gelombang baru. Namun jika rakyat yang tertindas mendapat ajaran bapak-bangsa-yang-dilupakan-ini mungkin bangsa ini akan mencapai pintu gerbang revolusi kedua. Atau mungkin ini cuma pemikiran naif seorang pemula saja.***

Mochammad IH adalah seorang siswa yang menempuh di salah satu Pondok Pesantren di Jombang, Jawa Timur dan editor Jurnal Subyektif . Bisa dihubungi lewat Twitter @aliasjojoz

No comments:

Post a Comment