Oleh Mochammad IH
Dibalik suksesnya Belok Kiri Festival di Jakarta Februari
lalu, ada beberapa sayap-sayap kiri lain yang memberi komentar sinis acara itu.
Saya ingat, beberapa komentar sinis ini dijawab oleh salah satu pendukung Belok
Kiri Festival dengan argumen yang lumayan menarik sih.
Menurut komentar tersebut, anak-anak muda generasi millenial
yang hobi ikut DWP juga berhak dong untuk mengetahui bahwa dunia sedang tidak
baik-baik saja. Anak-anak muda yang hobi lari-lari malam juga berhak belajar
untuk melawan ketidak-adilan. Anak-anak muda yang hobi mampir ke acara-acara
kebudayaan juga berhak mempelajari materialisme dialektika, dan sebagainya.
Setelah hingar bingar Belok Kiri Festival berakhir, lalu
tersebutlah salah satu acara teater di Bandung yang mementaskan kisah hidup Tan
Malaka akan digagalkan oleh salah satu organ fasis paling fenomenal di negeri
ini. Kebetulan akun sosial media Belok Kiri Festival ikut mem-blow up peristiwa
ini hingga ramai, mengaduh sampai gaduh. Lalu saya menemukan komentar menarik
di sosial media sebagai reaksi atas peristiwa ini.
Dalam komentar tersebut, acara teater ini dituduh menerima
donor dari lembaga liberal, mementaskannya di tempat liberal dan hanya kelas
menengah (orang-orang mampu) saja yang memiliki akses untuk menontonnya. Lalu
menurut komentar tersebut, Tan Malaka sejatinya diletakkan di jalanan, (di
ruang-ruang produksi, di tempat-tempat bercocok tanam, di sawah, di tempat
nelayan mencari ikan, di desa-desa, di pabrik-pabrik, di kampung-kampung, di
hutan-hutan). Interpretasi saya terhadap komentar ini adalah bahwa di
tempat-tempat tersebutlah dimana terdapat orang-orang yang membutuhkan Tan
Malaka, membutuhkan ajarannya, membutuhkan pemikirannya, membutuhkan bukunya.
Jadi Yang Butuh atau Yang Berhak? Saya pikir dua-duanya
sangat penting. Jika generasi millenial perkotaan memahami ajaran Tan Malaka
mungkin akan timbul gerakan mahasiswa gelombang baru. Namun jika rakyat yang
tertindas mendapat ajaran bapak-bangsa-yang-dilupakan-ini mungkin bangsa ini
akan mencapai pintu gerbang revolusi kedua. Atau mungkin ini cuma pemikiran
naif seorang pemula saja.***
Mochammad IH adalah seorang siswa yang menempuh di salah satu Pondok Pesantren di Jombang, Jawa Timur dan editor Jurnal Subyektif . Bisa dihubungi lewat Twitter @aliasjojoz
No comments:
Post a Comment