Saturday, January 23, 2016

Pendidikan yang Terlupakan




Oleh Tsamrotul AM

Pendidikan yang diterangkan dalam kitab Almufrodat al Fadzil Qur’an adalah menumbuhkan setingkat demi setingkat sampai dalam batas kesempurnaan. Sehingga sesungguhnya pendidikan memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak hanya sebatas menyekolahkan anak dibangku sekolah, tetapi juga menjadikan semua gerak hidup si anak adalah pendidikan. Semua orang tua pasti ingin mendidik anaknya dengan baik dan benar, tetapi permasalahannya ada yang menerapkan pendidikan dengan cara yang benar, ada juga yang sebaliknya.

Tidak sedikit orang tua yang mengeluh tentang masalah sulitnya mendidik anak mulai dari masyarakat kelas bawah sampai masyarakat kelas atas, tidak sedikit pula yang mengeluarkan biaya banyak untuk pendidikan anaknya. Sejak kecil si anak sudah dididik dengan berbagai macam pendidikan oleh orang tua untuk kebaikan hidup si anak dimasa yang akan datang, mulai dari berbahasa, membaca, menulis, menghafal, mengaji, beribadah seperti sholat berjama’ah di masjid/musholah dan juga berbagai macam kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya. Namun realitas yang terjadi di masyarakat setelah masa kanak-kanak yakni masa remaja, banyak yang tidak sesuai dengan harapan orang tua, seolah-olah semua yang diajarkan oleh orang tua tersebut tidak berbekas sama sekali, suatu misal : pada waktu kecil rajin sholat lima waktu namun ketika si anak menjadi remaja hampir tidak pernah sholat sama sekali, menjadi remaja yang sulit dinasehati, kemauannya harus dituruti tanpa mengerti kesulitan orang tua, sebagian ada yang berkeliaran tiap malam tanpa kenal waktu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, ada yang sampai terjerumus dalam pergaulan bebas, bahkan ada juga yang sampai membunuh orang tuanya.

Apakah yang salah disini? Bukankah pendidikannya yang diberikan kepada si anak sejak kecil itu sudah baik?

Memang baik mendidik anak sejak kecil dengan berbagai macam pengetahuan, tapi mayoritas masyarakat melupakan satu hal dalam menerapkan sebuah pendidikan, mayoritas orang tua sudah mengajari berbagai macam hal, namun mayoritas semua pendidikan yang diajarkan masih hanya sebatas pendidikan otak, belum sampai menyentuh jiwa/hati si anak. Padahal hati adalah sentral, pangkal dari kabaikan ataupun sebaliknya, semua perubahan itu berasal dari dalam jiwa/hati. Sebagaimana Rosululloh SAW bersabda : “Hati adalah raja, jika raja itu baik maka baiklah seluruh rakyatnya, jika raja itu jelek maka jeleklah seluruh rakyatnya” (HR. Abdurrozaq). Kalau hati itu baik maka dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja seluruh gerak badan dan fikiran pasti baik, begitu pula sebaliknya.

Disini dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang harus diutamakan adalah jiwa. Kita dapat melihat, sudah lama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tapi keadilan sekarang masih hanyalah sebagai rumus semata, dan kemakmuran baru ada namun masih banyak yang memihak, banyak orang cerdas yang menjadi pejabat negara, tapi kecerdasannya hanya digunakan untuk membodohi negaranya sendiri. Semua itu karena  pendidikan yang hanya mencerdaskan otak tanpa menyentuh pendidikan jiwa/hati, memang tidak salah memberi pendidikan yang mencerdaskan otak tapi jangan lupa dengan pendidikan jiwa. Maka sangat tepatlah gubahan syair Wage Rudolf Supratman dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”, dalam lagu tersebut kita diseru membangun jiwa dahulu, baru setelah itu membangun badan/raga, jadi kedua-duanya harus dibangun baik jiwa atau raga, moral atau material, namun ada yang harus terlebih dahulu untuk diutamakan.

Dalam  hadits nabi disebutkan setiap anak lahir dalam keadaan suci[?]. Dan ada teori yang dikemukakan oleh John Locke asal Inggris, yang mana teori tersebut disebut dengan teori tabularasa, teori yang menganggap seorang anak manusia yang baru lahir seperti halnya kertas putih yang masih kosong dan dapat ditulis sesuai dengan keinginan yang menulisnya[?]. Maka disini dapat disimpulkan bahwa kita sebagai pendidik kita tidak dapat menyalahkan apa yang menjadi kenakalan si anak, karena itu kita harus mengintropeksi diri sendiri apakah yang kita terapkan dalam pendidikannya sudah baik atau malah sebaliknya. Karena pendidikan pada anak yang masih kecil itu laksana mengukir diatas batu, sehingga apa yang kita ajarkan pada si anak akan berbekas sepanjang hidupnya, jika pendidikan jiwa diberikan pada anak kecil maka akan menjadikan generasi penerus yang tidak hanya ber IQ tinggi tetapi juga beradabin hasanin. Selain itu mendidik jiwa si anak tidak memerlukan biaya banyak, sehingga tidak ada alasan masalah ekonomi bagi orang tua yang ingin berhasil mendidik anaknya dengan benar.

Setiap manusia mempunyai 2 fithroh yakni fithroh fujur (potensi keburukan)  dan fithroh taqwa (potensi kebaikan), dan  kedua fithroh tersebut harus dididik[?]. Diantara metode pendidikan dalam Alqur’an dalam surat Saba’ ayat 28, “Dan kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh manusia, untuk memberi kabar gembira dan peringatan.”

Pada ayat diatas disebut kata “Basyiiron” artinya: kegembiraan, dan juga disebutkan “Nadhiiron” artinya : peringatan. Kalimat  basyiiron didahulukan baru setelah itu nadhiiron, ayat ini menunjukan kepada kita metode tentang pendidikan yang benar. pada usia dini cara mendidik anak dengan mengutamakan pendidikan yang memberi kegembiraan (basyiiron) pada anak, dan inilah yang akan mempermudah memunculkan fithroh taqwa yang terpendam pada diri si anak ke atas permukaan, jika memberi peringatan kepada anak kecil akan membuat fithroh taqwanya tersebut menjadi mimpes, mengkerut karena memberikan pendidikan kepada anak yang belum waktunya menerima. Sehingga menghambat berkembangnya fithroh taqwa karena tekanan-tekanan bathin tersebut, contoh kalimat yang memberikan tekanan kepada anak diantaranya : “Jika kamu tidak begini kamu akan..../ Jika kamu tidak mendapat nilai bagus kamu akan....” 

Jangan juga menakut-nakuti anak dengan hantu, kuntilanak atau apa yang menakutkannya, sebisa mungkin sebagai orang tua harus menjaga ucapannya karena itu banyak mempengaruhi perkembangannya jiwanya. Selanjutnya jika anak tersebut sudah bisa membedakan baik dan buruk barulah dididik  dengan memberi peringatan agar fithroh fujur itu tidak berkembang. Yang harus diingat disini adalah kita harus tahu kapan waktunya menerapkan metode basyiiron dan kapan waktunya menerapkan metode nadhiiron, mengingat yang dituju dalam mendidik jiwa adalah jiwa si anak maka yang mendidik juga adalah jiwa dari pendidik.

Luqman adalah nama seorang yang diabadikan dalam Alqur’an sebagai surat nomor 31, beliau adalah seorang yang diberi hikmah oleh Alloh, karena hikmah-hikmah yang menyumber dari hatinya maka beliau dijuluki Luqman Alhakim, beliau sangat peduli dengan pendidikan, ajaran yang paling awal diajarkan pada jiwa anaknya adalah keimanan untuk tidak menyekutukan Alloh, adab (tata krama), dan juga ubudiyah (tata cara ibadah), yang diajarkan beliau juga seperti  ajaran yang diterapkan oleh Rosululloh seperti demikian, Jundab Albajly ra : “Dahulu, ketika kami menjelang usia baligh bersama Rosululloh, kami mempelajari keimanan sebelum mempelajari Al qur’an, setelah itu baru mempelajari Al qur’an, akibatnya bertambah keimanan kami.” Maka kita sebagai manusia yang berpegang teguh pada Alqur’an dan sebagai umat nabi muhammad maka kita selayaknya mengikuti metodenya.

Selain itu untuk mengajarkan keimanan pada jiwa anak ketika baru lahir yakni dengan cara telinga kanan diperdengarkan adzan dan juga telinga kiri diperdengarkan iqomat. Selain itu untuk mengajarkan keimanan pada si anak dengan menunjukan kasih sayang Alloh ta’ala terhadap ciptaanNya yang ada pada sekitar si anak, baik dengan cara deskripsi, cerita-cerita, lagu-lagu, maupun tanya jawab ringan dengan si anak, intinya mengaitkan kejadian yang terjadi sehari-hari di sekitar anak dengan kebesaran Alloh. Suatu contoh tanya jawab ringan: saat anak bertanya “Ayah, kenapa burung kok bisa terbang ?” maka jangan hanya menjawab : “Iya, burung bisa terbang karena mempunyai sayap” tapi jawablah “Iya, Alloh yang berkehendak dan menggerakkan burung itu, dengan cara Alloh menciptakan sayap dan mengajarinya terbang, sehingga burung bisa terbang.” Dan insya Alloh jika metode-metode seperti itu diterapkan maka lambat laun akan tertancap kuat pada jiwa si anak.

Mengingat anak adalah buah hati, dan warisan terbaik bagi orang tua kepada anaknya adalah warisan adab yang baik, dan mempunyai anak yang sholih/sholihah (anak yang mau mendoakan orang tuanya) itu adalah amal yang tidak akan putus walaupun pedang maut memutuskan, maka jangan sampai kita mendidik anak dengan metode yang salah. Mengutip dari dawuh Guru saya pendidikan itu tidak penting, tetapi maha penting[?]. Disini marilah kita selalu berdo’a dan berusaha untuk belajar mendidik saudara-saudara kita, anak-anak kita dengan sebaik-baiknya.***

Tsamrotul AM adalah seorang pelajar di alam semesta yang setiap malam menjadi pengajar bagi anak-anak tetangganya.

Catatan:
[?] Butuh rujukan
 
Redaksi Jurnal Subyektif menerima naskah tulisan apapun dengan motif menjunjung tinggi kebebasan ekspresi bisa dihubungi lewat editor @aliasjojoz di twitter

No comments:

Post a Comment