Pendidikan yang diterangkan dalam
kitab Almufrodat al Fadzil Qur’an adalah menumbuhkan setingkat demi setingkat
sampai dalam batas kesempurnaan. Sehingga sesungguhnya pendidikan memiliki
ruang lingkup yang sangat luas, tidak hanya sebatas menyekolahkan anak dibangku
sekolah, tetapi juga menjadikan semua gerak hidup si anak adalah pendidikan.
Semua orang tua pasti ingin mendidik anaknya dengan baik dan benar, tetapi
permasalahannya ada yang menerapkan pendidikan dengan cara yang benar, ada juga
yang sebaliknya.
Tidak sedikit orang tua yang
mengeluh tentang masalah sulitnya mendidik anak mulai dari masyarakat kelas
bawah sampai masyarakat kelas atas, tidak sedikit pula yang mengeluarkan biaya
banyak untuk pendidikan anaknya. Sejak kecil si anak sudah dididik dengan
berbagai macam pendidikan oleh orang tua untuk kebaikan hidup si anak dimasa
yang akan datang, mulai dari berbahasa, membaca, menulis, menghafal, mengaji,
beribadah seperti sholat berjama’ah di masjid/musholah dan juga berbagai macam
kegiatan keagamaan, dan lain sebagainya. Namun realitas yang terjadi di
masyarakat setelah masa kanak-kanak yakni masa remaja, banyak yang tidak sesuai
dengan harapan orang tua, seolah-olah semua yang diajarkan oleh orang tua
tersebut tidak berbekas sama sekali, suatu misal : pada waktu kecil rajin
sholat lima waktu namun ketika si anak menjadi remaja hampir tidak pernah
sholat sama sekali, menjadi remaja yang sulit dinasehati, kemauannya harus
dituruti tanpa mengerti kesulitan orang tua, sebagian ada yang berkeliaran tiap
malam tanpa kenal waktu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, ada yang sampai
terjerumus dalam pergaulan bebas, bahkan ada juga yang sampai membunuh orang
tuanya.
Apakah yang salah disini? Bukankah
pendidikannya yang diberikan kepada si anak sejak kecil itu sudah baik?
Memang baik mendidik anak sejak
kecil dengan berbagai macam pengetahuan, tapi mayoritas masyarakat melupakan
satu hal dalam menerapkan sebuah pendidikan, mayoritas orang tua sudah mengajari
berbagai macam hal, namun mayoritas semua pendidikan yang diajarkan masih hanya
sebatas pendidikan otak, belum sampai menyentuh jiwa/hati si anak. Padahal hati
adalah sentral, pangkal dari kabaikan ataupun sebaliknya, semua perubahan itu
berasal dari dalam jiwa/hati. Sebagaimana Rosululloh SAW bersabda : “Hati
adalah raja, jika raja itu baik maka baiklah seluruh rakyatnya, jika raja itu
jelek maka jeleklah seluruh rakyatnya” (HR. Abdurrozaq). Kalau hati itu baik
maka dimana saja, kapan saja, dalam keadaan apa saja seluruh gerak badan dan
fikiran pasti baik, begitu pula sebaliknya.
Disini dapat disimpulkan bahwa pendidikan
yang harus diutamakan adalah jiwa. Kita dapat melihat, sudah lama bangsa
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tapi keadilan sekarang masih hanyalah
sebagai rumus semata, dan kemakmuran baru ada namun masih banyak yang memihak,
banyak orang cerdas yang menjadi pejabat negara, tapi kecerdasannya hanya
digunakan untuk membodohi negaranya sendiri. Semua itu karena pendidikan yang hanya mencerdaskan otak tanpa
menyentuh pendidikan jiwa/hati, memang tidak salah memberi pendidikan yang
mencerdaskan otak tapi jangan lupa dengan pendidikan jiwa. Maka sangat tepatlah
gubahan syair Wage Rudolf Supratman dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya:
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”, dalam lagu tersebut kita diseru
membangun jiwa dahulu, baru setelah itu membangun badan/raga, jadi kedua-duanya
harus dibangun baik jiwa atau raga, moral atau material, namun ada yang harus terlebih
dahulu untuk diutamakan.
Dalam hadits nabi disebutkan setiap anak lahir dalam
keadaan suci[?]. Dan ada teori yang dikemukakan oleh John Locke asal Inggris,
yang mana teori tersebut disebut dengan teori tabularasa, teori yang menganggap
seorang anak manusia yang baru lahir seperti halnya kertas putih yang masih
kosong dan dapat ditulis sesuai dengan keinginan yang menulisnya[?]. Maka
disini dapat disimpulkan bahwa kita sebagai pendidik kita tidak dapat
menyalahkan apa yang menjadi kenakalan si anak, karena itu kita harus
mengintropeksi diri sendiri apakah yang kita terapkan dalam pendidikannya sudah
baik atau malah sebaliknya. Karena pendidikan pada anak yang masih kecil itu
laksana mengukir diatas batu, sehingga apa yang kita ajarkan pada si anak akan
berbekas sepanjang hidupnya, jika pendidikan jiwa diberikan pada anak kecil maka
akan menjadikan generasi penerus yang tidak hanya ber IQ tinggi tetapi juga
beradabin hasanin. Selain itu mendidik jiwa si anak tidak memerlukan biaya
banyak, sehingga tidak ada alasan masalah ekonomi bagi orang tua yang ingin
berhasil mendidik anaknya dengan benar.
Setiap manusia mempunyai 2
fithroh yakni fithroh fujur (potensi keburukan)
dan fithroh taqwa (potensi kebaikan), dan kedua fithroh tersebut harus dididik[?].
Diantara metode pendidikan dalam Alqur’an dalam surat Saba’ ayat 28, “Dan kami
tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada seluruh manusia, untuk memberi
kabar gembira dan peringatan.”
Pada ayat diatas disebut kata
“Basyiiron” artinya: kegembiraan, dan juga disebutkan “Nadhiiron” artinya : peringatan.
Kalimat basyiiron didahulukan baru
setelah itu nadhiiron, ayat ini menunjukan kepada kita metode tentang
pendidikan yang benar. pada usia dini cara mendidik anak dengan mengutamakan
pendidikan yang memberi kegembiraan (basyiiron) pada anak, dan inilah yang akan
mempermudah memunculkan fithroh taqwa yang terpendam pada diri si anak ke atas
permukaan, jika memberi peringatan kepada anak kecil akan membuat fithroh taqwanya
tersebut menjadi mimpes, mengkerut karena memberikan pendidikan kepada
anak yang belum waktunya menerima. Sehingga menghambat berkembangnya fithroh
taqwa karena tekanan-tekanan bathin tersebut, contoh kalimat yang memberikan tekanan
kepada anak diantaranya : “Jika kamu tidak begini kamu akan..../ Jika kamu
tidak mendapat nilai bagus kamu akan....”
Jangan juga menakut-nakuti anak
dengan hantu, kuntilanak atau apa yang menakutkannya, sebisa mungkin sebagai
orang tua harus menjaga ucapannya karena itu banyak mempengaruhi
perkembangannya jiwanya. Selanjutnya jika anak tersebut sudah bisa membedakan
baik dan buruk barulah dididik dengan
memberi peringatan agar fithroh fujur itu tidak berkembang. Yang harus diingat
disini adalah kita harus tahu kapan waktunya menerapkan metode basyiiron dan
kapan waktunya menerapkan metode nadhiiron, mengingat yang dituju dalam
mendidik jiwa adalah jiwa si anak maka yang mendidik juga adalah jiwa dari
pendidik.
Luqman adalah nama seorang yang diabadikan
dalam Alqur’an sebagai surat nomor 31, beliau adalah seorang yang diberi hikmah
oleh Alloh, karena hikmah-hikmah yang menyumber dari hatinya maka beliau
dijuluki Luqman Alhakim, beliau sangat peduli dengan pendidikan, ajaran yang
paling awal diajarkan pada jiwa anaknya adalah keimanan untuk tidak
menyekutukan Alloh, adab (tata krama), dan juga ubudiyah (tata cara ibadah), yang
diajarkan beliau juga seperti ajaran
yang diterapkan oleh Rosululloh seperti demikian, Jundab Albajly ra : “Dahulu,
ketika kami menjelang usia baligh bersama Rosululloh, kami mempelajari keimanan
sebelum mempelajari Al qur’an, setelah itu baru mempelajari Al qur’an, akibatnya
bertambah keimanan kami.” Maka kita sebagai manusia yang berpegang teguh pada
Alqur’an dan sebagai umat nabi muhammad maka kita selayaknya mengikuti
metodenya.
Selain itu untuk mengajarkan keimanan
pada jiwa anak ketika baru lahir yakni dengan cara telinga kanan diperdengarkan
adzan dan juga telinga kiri diperdengarkan iqomat. Selain itu untuk mengajarkan
keimanan pada si anak dengan menunjukan kasih sayang Alloh ta’ala terhadap
ciptaanNya yang ada pada sekitar si anak, baik dengan cara deskripsi,
cerita-cerita, lagu-lagu, maupun tanya jawab ringan dengan si anak, intinya
mengaitkan kejadian yang terjadi sehari-hari di sekitar anak dengan kebesaran
Alloh. Suatu contoh tanya jawab ringan: saat anak bertanya “Ayah, kenapa burung
kok bisa terbang ?” maka jangan hanya menjawab : “Iya, burung bisa terbang karena
mempunyai sayap” tapi jawablah “Iya, Alloh yang berkehendak dan menggerakkan
burung itu, dengan cara Alloh menciptakan sayap dan mengajarinya terbang,
sehingga burung bisa terbang.” Dan insya Alloh jika metode-metode seperti itu
diterapkan maka lambat laun akan tertancap kuat pada jiwa si anak.
Mengingat anak adalah buah hati,
dan warisan terbaik bagi orang tua kepada anaknya adalah warisan adab yang
baik, dan mempunyai anak yang sholih/sholihah (anak yang mau mendoakan orang
tuanya) itu adalah amal yang tidak akan putus walaupun pedang maut memutuskan, maka
jangan sampai kita mendidik anak dengan metode yang salah. Mengutip dari dawuh
Guru saya pendidikan itu tidak penting, tetapi maha penting[?]. Disini marilah
kita selalu berdo’a dan berusaha untuk belajar mendidik saudara-saudara kita,
anak-anak kita dengan sebaik-baiknya.***
Tsamrotul AM adalah seorang pelajar di alam semesta yang setiap malam menjadi pengajar bagi anak-anak tetangganya.
Catatan:
[?] Butuh rujukan
Redaksi Jurnal Subyektif
menerima naskah tulisan apapun dengan motif menjunjung tinggi kebebasan
ekspresi bisa dihubungi lewat editor @aliasjojoz di twitter
No comments:
Post a Comment