Monday, April 27, 2015

Jombang Utara Yang Strategis Dan Pengalaman Pahit Dengan Industri Kapitalis

Saya tinggal di Jombang selama 5-7 tahun ini, tepatnya di kawasan Jombang Utara. Kawasan utara ini memang menarik karena menghubungkan dua jalur utama distribusi. Pertama, ada jalur menuju pusat pemerintahan dan pelabuhan Jawa Timur, yaitu Surabaya. Yang kedua, ada jalur yang menghubungkan jalur distribusi darat pulau Jawa, yaitu jalur Pantura. Tak heran, bila suatu saat orang-orang akan mencium Jombang sebagai daerah strategis untuk tujuan ekonomi.

Hal itulah yang mendasari Jombang untuk segera berbenah diri untuk menyambut para pemilik modal untuk menanamkan modalnya di kawasan utara Jombang, meskipun pada kenyataannya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah daerah sangat lamban. Kemudian hal ini menjadi pertanyaan, apakah seluruh masyarakat tahu akan ada rencana seperti ini? Dan bagaimana warga Jombang Utara menyambutnya?

Sebagian orang-orang yang saya kenal menyambutnya dengan gembira, sebagian lagi tak tahu soal tersebut. Apakah ini pertanda buruk? Entahlah. Namun yang pasti jika belajar pada saudara Jombang yang di sebelah timur, dampak menjadi kawasan industri ada berbagai macam. Atau mungkin jika ditarik lebih jauh kawasan industri yang jika tidak dikawal dengan benar bisa seperti terjadi tindakan ngawur seperti yang dilakukan pabrik semen di Rembang. Atau mungkin seperti Freeport yang mengkhianati pekerjanya.

Jika melihat pengalaman Freeport orang-orang yang diuntungkan hanya sebagian kecil, yaitu tuan-tuan pemilik modal yang di luar negeri. Bisa kita lihat dalam film Alkinemokiye, dimana yang dirugikan adalah kaum pekerja. Mulai dari rumah tinggal yang buruk, upah yang tidak cukup, sistem pangkat yang tak adil, dan dana pensiun dan saham pekerja yang dikhianati, tak pernah bisa dicairkan.

Jika melihat pengalaman Rembang, pihak Semen ngotot ingin meneruskan pembangunan pabrik meskipun banyak bukti cacat hukum, bukti lingkungan yang tak sepatutnya dieksploitasi, menghilangkan lapangan pekerjaan masyarakat dan bahkan pengadilan meloloskan mereka untuk meneruskan pembangunan pabrik semen.

Jika melihat pengalaman pabrik semen di Tuban, bagaimana pabrik mengkhianati janji mereka untuk membuka lapangan pekerjaan kepada orang-orang yang dibeli lahan pekerjaannya sebagai tani. Mereka berjanji di awal akan membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang direbut lahan pertaniannya ini, namun kenyataannya mereka dibiarkan hidup dengan kehilangan pekerjaannya. Kisah Rembang dan Tuban ini bisa dilihat dalam film Samin vs Semen.

Jika melihat pengalaman isu reklamasi Teluk Benoa di Bali, kita akan melihat hal yang sama. Para pemilik modal atau para investor seringkali bermulut manis pada awalnya agar tidak terlihat seperti orang yang akan merebut lahan pencarian nafkah, dalam hal ini para nelayan. Ini terlihat jelas dalam film Kala Benoa.

Jika melihat pengalaman di saudara Jombang kawasan timur, hal-hal nyata yang terjadi pada lingkungan sosial adalah meningkatnya angka kriminalitas di kawasan industri. Ini bisa dilihat bagaimana surat kabar hampir setiap hari mengabarkan peristiwa kriminal di kawasan timur Jombang.

Semua pengalaman pahit ini bertambah pahit dan sama-sama terjadi nyata ketika aparatur negara bergerak di posisi sebagai preman yang membungkam protes rakyat-rakyat kecil yang tidak disenangi tuan pemilik modal. Bahkan posisi negara tidak menjadi tuan di rumah sendiri yang membela rakyatnya, tapi menjadi babu-babu, bodyguard, preman-preman para investor pemilik modal yang kemanusiaannya dipertanyakan.

Jadi, apakah Jombang Utara sudah mengerti dengan resiko-resiko seperti ini?

**Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia belum pernah mendapat pendidikan formal.

Monday, April 20, 2015

Kasus Pembunuhan Remaja: Sebuah Refleksi Kurangnya Akses Pendidikan

Jombang dikejutkan dengan sebuah kasus pembunuhan seorang siswa laki-laki sekolah menengah atas yang kejam. Polisi pun kali ini bergerak cepat dan langsung menemukan pembunuhnya yang usianya tak jauh beda dengan korbannya. Motifnya pun sepele, hanya karena telah ditipu oleh sang korban-yang ternyata kekasih si terdakwa- tentang identitas sang korban yang bukan perempuan alias laki-laki. Bagaimana bisa hanya karena sepele, seseorang bisa kehilangan nyawanya?

Baiklah, memang sering ditemui kematian seseorang karena amuk massa, entah karena sang korban seorang copet atau mungkin seorang begal. Ini menunjukkan bahwasanya pendidikan tentang Hak Asasi Manusia di negara kita sangat kurang. Bagaimana kepedulian kita terhadap nyawa seseorang itu sangat kurang, padahal hukum di negara kita sangat berat untuk perbuatan-perbuatan menghilangkan nyawa seseorang. Jelas negara menjamin kehidupan seseorang, tanpa disertai dengan pendidikan yang cukup.

Kita tidak menyoroti perilaku seksual korban yang "beda", toh di negara ini regulasi hukum terhadap LGBT memang masih abu-abu, apalagi jika dikaitkan dengan kaum fundamentalis agama yang sepertinya mengarah  untuk menghalalkan darah para kaum yang dipinggirkan ini. Kita menyoroti sang pembunuh dan bagaimana permasalahan ini tidak cukup dengan menangkap pembunuhnya tapi juga memberi penyuluhan ke masyarakat tentang kepedulian terhadap HAM.

Hal yang mendasar yang perlu diganti adalah sistem. Sistem sekolah yang masih terdapat banyaknya pungutan liar terhadap peserta didiknya, membuat orang-orang yang tidak mampu secara finansial tidak mendapat pendidikan yang setara. Kenyataannya memang ada tembok pemisah antara si mampu dan si tidak mampu. Ini jelas bertolak belakang dengan tugas negara ini yang secara gambalang dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan bangsa. Jadi faktanya bahwa tidak segenap bangsa ini mendapat hak untuk dicerdaskan.

**Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tak mengikuti pendidikan formal negara.

Thursday, April 9, 2015

Minimarket, Lapangan Pekerjaan Dan Studi Ilmiah

Akhir-akhir ini di surat kabar lokal tak pernah berhenti menggeber berita tentang minimarket yang belum berizin. Begitu banyak elit politik Jombang yang berkomentar dengan nada miring memojokkan pemerintah daerah yang kurang tegas. Toko kelontong kecil pun dijual sebagai alibi para elit politik ini tanpa ada bukti ilmiah yang jelas, seolah-seolah mereka menuduh saja.

Isu minimarket bodong ini sebenarnya telah lama terdengar, bahkan sering memasuki ranah sosial media seperti Twitter. Begitu keras sebuah akun anonim menyuarakan seperti suara orang-orang yang menggugat ikon Jombang di Twitter. Namun ketika saya bertanya tentang data-data, akun anonim ini tidak bisa menjawab. Dan di kemudian hari, akun anonim ini terlibat perang tweet dengan seorang mahasiswa yang juga tak mendapat jawaban dari akun anonim ini tentang data-data. Kemudian saya ikut menimpali agar supaya diadakan sebuah studi yang menyebutkan bahwa pembangunan minimarket berdampak buruk pada usaha toko kelontong. Belum ada kabar sampai sekarang, karena memang saya juga dalam posisi menggertak saat itu, jadi tak mau peduli pada akun anonim yang tak jelas.

Lalu kemudian surat kabar lokal menerbitkan berita isu tentang minimarket ini hampir setiap hari. Berusaha menekan pemerintah daerah untuk menertibkannya. Lalu saya curiga, sepertinya ada yang berkepentingan di sini. Kecurigaan ini berlanjut dengan pertanyaan, siapa yang diuntungkan bila minimarket yang tak berizin ini ditutup? Siapa yang dirugikan?

Hal-hal yang aneh saya temukan pada surat kabar lokal, dimana mereka menekankan tentang isu pendapatan daerah, isu tentang upeti yang diterima oleh para eksekutif daerah selain menjual kerugian oleh toko kelontong. Ketiga hal ini menurut saya tak berdasar, okelah tentang pendapatan daerah yang kurang karena bisa dibuktikan oleh pihak eksekutif. Namun tentang upeti dan toko kelontong ini yang belum ada dasar dan bukti yang jelas.

Siapa sih yang dirugikan kalau ternyata minimarket-minimarket ini ditutup? Yang jelas, yang berdampak langsung adalah para buruh, para karyawan yang bergantung hidupnya pada jalannya bisnis minimarket. Secara kasat mata, kita melihat sendiri minimarket telah menyumbang lapangan perburuhan pada anak-anak muda yang butuh kerja-upah untuk menghidupi hidup mereka.

Saya juga menekankan tidak mendukung para pemilik modal yang tidak taat ijin, saya cuma mempermasalahkan kenapa membawa isu tentang kerugian toko kelontong, tanpa ada studi ilmiah untuk mengkajinya? Hendaklah kalau membawa nama rakyat kecil harus ada bukti tentang dampak langsung ke mereka. Jangan asal menjual nama mereka layaknya barang yang bisa diperjual-belikan. Mereka tak butuh pembelaan yang semu.

*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia belum pernah menempuh pendidikan formal.

Wednesday, March 25, 2015

Petani Yang Makmur Dan Transformasi Lapangan Pekerjaan Di Jombang Utara

Petani Yang Makmur Dan Transformasi Lapangan Pekerjaan Di Jombang Utara

Beberapa minggu yang lalu seorang teman meyakinkan saya bahwa dengan pertanian, bisa menghidupi keluarga. Padahal awalnya saya bertanya tentang transformasi sosial lapangan pekerjaan yang berubah karena pembangunan pabrik yang cukup masif di Jombang Utara. Hal-hal yang mempengaruhi mengapa dia yakin sekali hasil pertanian bisa mencukupi kehidupan seorang petani dilihat dari bahwa hasil pertanian bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tanpa menjualnya. Dia juga mengkritisi para kaum muda yang enggan meneruskan lahan pertanian orang tuanya. Rata-rata mereka lebih memilih untuk menjadi pekerja buruh pabrik (bagi yang tidak meneruskan sekolah), dan hal miris ditemuinya; bahwa melamar menjadi buruh pun tak ada jaminan untuk diterima kerja. Sehingga dia menemukan banyak lulusan-lulusan sekolah yang terpaksa menganggur menunggu panggilan kerja.

Lalu diskusi terhadap pertanian tersebut, saya bawa ke ranah media sosial. Kontradiksi yang saya temukan, karena ada pendapat kuat bahwa petani yang mempunyai hektaran lahan pertanian lah yang cukup makmur, dan petani yang hanya memiliki lahan pertanian beberapa meter tidak mungkin bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan dengan menjadi buruh tani sekali pun[1]. Belakangan saya berpikir bahwa buruh tani pun harus punya serikat buruh.

Belakangan melihat pabrik-pabrik yang dibangun secara masif di daerah Jombang Utara membuat saya berpikir, bagaimana nasib para petani yang lahan pertaniannya diubah menjadi pabrik ya? Sedikit catatan pabrik-pabrik yang dibangun lokasinya berdampingan dengan area persawahan. Tak mungkin para petani banting setir menjadi buruh pabrik, karena para petani tak memenuhi syarat. Yang jelas diterima adalah para lulusan-lulusan pendidikan. Seolah-olah ada pilih kasih terhadap orang-orang yang tidak memiliki pendidikan yang mumpuni. Jadi apa mereka tidak berhak untuk menyambung hidup? Yah, pertanyaan-pertanyaan tentang kesejahteraan petani di lingkungan pabrik memang harus dijawab oleh studi.

*Mochammad IH adalah editor JURNAL SUBYEKTIF. Dia tak pernah mendapat pendidikan formal.

Friday, March 20, 2015

Pandangan Subyektif Tentang Kriminalitas Di Mojoagung

Akhir-akhir ini selalu menemukan berita kriminal di headline cabang koran nasional yang fokus pada berita lokal. Entah karena memang konspirasi sebuah harian lokal, agar lebih bombastis. Gak tau. Tapi selain pemikiran seperti itu, jika kita normal, kita tak mau kriminalitas terjadi. Pernah tidak bertanya mengapa seseorang melakukan tindakan kriminal? Pernah tidak mendengar cerita dari sisi seorang pelaku tindak kriminal? Tulisan ini bukan tentang kejahatan kelas atas, namun tentang kejahatan-kejahatan kecil yang terdapat di lingkungan sekitar kita. Saya yakin tanpa hasil studi (jadi kalian bisa menyanggahnya), bahwa pelaku kriminal-kriminal kelas teri ini melakukan karena kebutuhan yang penting dan mendesak.

Suatu kasus perampokan di sebuah minimarket yang menggasak uang dan handphone namun yang menarik adalah para perampok ini juga merampas beberapa kaleng susu bayi. Jadi pernahkah terpikir mengapa seseorang perampok juga menggasak susu bayi? Jelas-jelas kalo bukan untuk anaknya untuk siapa lagi? Dan mengapa mereka memberi susus bayi hasil rampokan? Mereka tak sanggup membelinya? Iya, saya yakin begitu. Jadi faktor utama perampokan adalah ekonomi, bukan semata-mata karena mereka mau melakukannya (karena yang melakukan hal itu cuma para psikopat saja). Meski tanpa hasil studi, banyak sekali bukti-bukti nyata di kota lain yang angka kriminalitasnya tinggi, bahwa ada kesenjangan sosial antara si kaya dan miskin.

Si miskin ini tak punya kesempatan untuk mencari nafkah di tengah-tengah pembangunan masif Mojoagung. Dan kita tau sendiri bahwa Mojoagung menjadi pusat pembangunan Jombang karena begitu pentingnya jalur tersebut. Saya yakin jika memaparkan fakta, maka cukup miris yang terjadi di sana.

Jadi hal-hal yang dilakukan para aparatur pemerintah harusnya tak hanya menangkapi perampok, tapi juga melakukan pendekatan-pendekatan secara sosial-ekonomi. Melakukan pelatihan-pelatihan untuk mereka yang menjadi korban pendidikan yang kian mahal. Dan membuat mereka mandiri secara ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan, setidaknya sebelum kemandirian mereka dijegal oleh para kapitalis.

Jadi memang tak ada solusi yang menuntaskan semua, kecuali setelah masyarakat mendapat pendidikan yang bagus dan pemikirannya jauh berkembang serta mempergunakan hak politik tanpa menunggu lima tahun sekali. Pendidikan itu penting saudara-saudara dan biayanya harus ditanggung pemerintah seluruhnya.

*Mochammad IH adalah editor jurnal subyektif. Dia tak pernah mendapat pendidikan formal.

Thursday, March 5, 2015

Bukan Cuma Butuh Irigasi

Oleh Mochammad IH

Setiap pagi, selalu hari
Hidup seperti tak melangkah
Lalu apa ada pilihan lain?

Hanya mencari air untuk berkebun
Jarak layaknya kembali purba
Ironi pada abad dua puluh
Lalu apa ada pilihan?

Terjebak di dataran ini
Penuh tandus dan takdir
Lalu siapa yang mau peduli?
Lebih baik hidup di tengah kaum urban

25/02/2015/23.06pm

--------------------------------------------------------------------------------------

Selama setahun ini karena socalled “tugas pendidikan”, saya menghabiskan banyak waktu di sebuah desa bernama Puri Semanding, Plandaan, Jombang. Yah, meskipun hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi di sana, namun faktanya hanya beberapa orang pribumi yang berkomunikasi dengan saya dan teman-teman.

Desa ini termasuk dataran tinggi, namun tandus. Sumber-sumber air, sungai-sungai ada, namun hanya sekeliling situ saja, tak merata. Sebagian besar area desa ini adalah pertanian, umumnya adalah padi. Namun jalan yang saya lewati setiap hari, saya menemukan bahwa mereka tidak menanam padi, tapi menanam palawija (yang cocok dengan tanah tandus). Sedangka tanaman padi banyak ditemukan di lahan-lahan yang dekat dengan sumber air. Lalu dimana mereka-yang-menanam-palawija mendapat air? Mirisnya mereka menimba air di sumber air atau sumur terdekat, yang kadang lumayan jauh dari lahan mereka. Mereka jelas tidak bisa menimba air dengan banyak, jadi harus bolak-balik menimba air seharian hingga lahannya bisa tercukupi dengan air. Namun setelah panen, apakah hasilnya sepadan dengan usaha mereka? Melihat rata-rata penduduk desa masih berada di garis kemiskinan, sepertinya tidak.

Hal yang sama juga saya temui di sebuah dusun di Wonosalam, saya lupa namanya. Sekilas melihat tanah mereka ditumbuhi dengan palawija, sepertinya mereka senasib dengan di Puri. Namun ini perlu studi lebih lanjut karena belakangan saya mendengar bahwa hasil utama yang membangun perekonomian Wonosalam adalah hasil perkebunan dan pariwisata, apalagi tiap tahun Pemda membuat agenda rutin bertajuk KenDuren, pesta panen buah Durian.

Dataran tinggi memang bebas banjir, namun selepas hujan, air tidak berhenti karena mereka mengalir ke dataran yang lebih rendah. Harusnya di tahun 2015 ini ada teknologi yang membuat mereka tidak kesulitan memperoleh air di dataran tinggi.

Sebagai alternatif lapangan pekerjaan sebenernya ada dua pabrik di daerah Jombang bagian utara. Yaitu di Ploso dan Kabuh. Namun saya mendapati pabrik tak dibangun di Plandaan, mungkin belum, saya tak tahu.

Kembali lagi ke bahasan awal, jadi apa yang bisa kita lakukan? Harapan saya, ada insinyur-insinyur yang terjun ke desa dengan rasa penderitaan yang sama dengan membuat program mandiri bersama masyarakat untuk mengatasi masalah ini.

Ketika isu kampus sebagai pabrik tenaga kerja kerah putih berhembus, saya yang tidak menempuh pendidikan formal pun kaget. Setelah kaget, lalu bertanya: kalo memang kampus sebagai pabrik tenaga kerah putih, bukan idealnya sebuah kampus lalu kampus yang ideal harusnya menghasilkan apa? Menurut saya idealnya, kampus menghasilkan kaum intelektual yang membereskan masalah-masalah seperti ini dengan proyek berbayar maupun proyek mandiri. Dan tentunya sesuai kapasitas masing-masing. Karena kaum intelektual muda adalah harapan bangsa, siapa lagi kalo bukan anak-anak muda intelektual ini yang membangun bangsanya sendiri? Bukan menjadi kelas menengah dengan gengsi setengah mati, termakan gaya hidup hedonis.

*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tidak menempuh pendidikan formal. Kontak @aliasjojoz

Hal-Hal Miris Tentang Proton

Oleh Mochammad IH

Isu nasional yang sempat jadi fokus masyarakat beberapa waktu adalah proyek mobil nasional bekerjasama dengan sebuah perusahaan Malaysia. Uni Lubis adalah salah seorang wartawan senior yang lalu lalang di beberapa stasiun tv, dan dia lagi dalam investigasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan mobil nasional. Salah satu hasil investigasinya bisa kalian simak di sini. http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/85851-nasib-mobil-listrik-di-era-jokowi

Dari mengikuti Uni Lubis, saya sendiri membuat kesimpulan tentang hal-hal miris tentang kenyataan bahwa presiden kita yang menyetujui proyek tersebut.

1. Mobil Nasional kenapa dibuat di luar negeri? Jadi dimana harga martabat bangsa kita? Harusnya mobil nasional dibuat di dalam negeri dan bahan-bahan produknya hasil domestik bukan impor.

2. Fakta bahwa ada jaminan negara untuk keringanan pajak, dan lain-lain. Ini menandakan bahwa barang-barang lokal tidak dilindungi, sehingga kemungkinan ada ketimpangan harga yang sangat besar.

3. Dengan begitu adanya tujuan untuk membuat bangsa Indonesia (yang rakyatnya lebih dari 200 juta itu) menjadi pasar konsumsi barang impor oleh tetangga kita sendiri. Padahal membeli barang impor di negara kita saat ini adalah sebuah kerugian negara.

Dengan seorang pejabat Orde Baru yang berada di belakang proyek ini, jelas proyek ini berbau politis. Jadi mari kita gagalkan proyek Proton dan buat mereka bangkrut dengan tidak membelinya.

*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tidak menempuh pendidikan formal. Kontak @aliasjojoz

Monday, March 2, 2015

Janda-Janda Di Umur Belasan

Oleh Mochammad IH

Terimakasih, Bapak.
Aku tak membencimu
Keadaan membuat kita begini
Esensi pernikahan
Hanya memperbaiki nasib

Tapi tahukah Bapak?
Bahwa keadaan takkan berubah
Posisi tawar kita tak kuat
Hanya bisa menunggu
Intelektual merasa keresahan
Dan memperbaiki nasib kita

Bapak, bukan semua salahmu
Aku tau kau mencintaiku tulus.

25/02/2015/23.06pm

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Pada suatu waktu gue pergi ke barbershop dan menemukan seseorang muda dan menarik asyik berbincang-bincang dengan sang pemilik. Setelah doi pergi, gue bertanya dan pemiliknya langsung menjawab bahwa dia keponakannya dan baru saja bercerai dari suaminya. Holycrap. Belum sampai situ, sang pemilik ini bercerita bahwa umurnya masih 17 tahun. Sang janda belum punya anak, btw.

Kasus yang sama dengan penyanyi dangdut yang itu (dinikahi sebulan lalu ditalak tiga), tapi perbedaan nasib bukan jadi fokus di sini, tetapi bahwa praktek pernikahan di umur belasan masih sering terjadi. Hal ini harusnya menjadi pemicu sebuah studi, dan beberapa hasil studi yang gue temukan di google. Dan studi studi ini menggambarkan betapa kompleks masalah ini mulai dari pemikiran para orang tua, paradigmanya yang sudah umum (seakan-akan tidak ada rasa kemanusiaan!) hingga akibat-akibatnya di masyarakat. Kebanyakan angka pernikahan di bawah umur terjadi karena hamil di luar nikah, dan ini termasuk dengan desakan orang tua yang menikahkan anaknya. Beberapa akibat yang terjadi karena pernikahan di bawah umur menurut studi: KDRT, karena mental yang kurang siap untuk membangun rumah tangga. Resiko meninggal karena reproduksi, bahwa fisik yang muda dan belum matang berpotensi tidak siap. Terputusnya akses pendidikan, sudah menjadi rahasia umum bahwa orang menikah tak bisa mengikuti pendidikan.[1]

Sebelum gue mencari-cari hasil studi di google, sebenernya gue membuka sebuah diskusi di Facebook soal pernikahan di bawah umur ini. Dalam komentar-komentar yang gue terima, kita semua setuju bahwa pernikahan di bawah umur itu tidak relevan dengan zaman sekarang, namun kita berbeda-beda melihat akar permasalahannya. Ada yang berpendapat cuma soal pemikiran/pendidikan para orang tua. Gue waktu itu setuju bahwa masalah pendidikan dan kemiskinan adalah masalahnya. Pendidikan: karena orang tua masih merasa memiliki hak untuk menikahkan anak yang dirasa membebani orang tuanya, karena jika dinikahkan orang tua tersebut bisa membebankan ke pihak suami. Kemiskinan: mahalnya biaya pendidikan, kurangnya lapangan kerja atau lapangan kerja yang ada tidak relevan dengan sistem. Namun satu hal yang gue kecewakan adalah bahwa ada yang memaparkan solusi untuk menunggu, karena adanya proses jangka panjang dengan mengubah paradigma masyarakat umum dari pihak-pihak intelektual yang di kota untuk meluruskan paradigma-paradigma keliru di desa. Hell no, gue sama sekali gak setuju dengan ini. Harusnya kita bergerak secara masif untuk mengkampanyekan hal ini di masyarakat.

[1]BKKBN: Kajian Pernikahan Dini Pada Beberapa Provinsi Di Indonesia, Dampak Overpopulation, Akar Masalah Dan Peran Kelembagaan Di Daerah.

*Mochammad IH adalah editor Jurnal Subyektif. Dia tidak menempuh pendidikan formal. Kontak @aliasjojoz

Sunday, March 1, 2015

Iklan Layanan Masyarakat: Dilarang Merokok Bagi Orang Miskin

Oleh Mochammad IH

Selama ini gue termasuk orang yang mendukung industri rokok/kretek sebagai nafas negara. Mengamini kata mereka sebagai warisan budaya. Tapi disadarkan ketika mendapati kenyataan bahwa harga rokok yang kelewat mahal. Lalu sempat mengalami penderitaan ketika uang saku habis karena dihabiskan untuk merokok. Rokok sekarang menjadi kebutuhan primer yang termasuk dalam makan (setidaknya bagi gue). Tulisan ini bukan tentang kesehatan, tapi bagaimana pandangan subyektif gue tentang relasi rokok dan kemiskinan.

Rokok itu adiktif? Orang luar sana bilang begitu. Tapi industri rokok gencar sekali dalam menggunakan dana CSR. Seakan-akan dosa mereka terobati karena telah melakukan pembangunan yang dicitrakan. Yang lucu adalah ketika ada pelarangan bagi mereka membiayai kegiatan olahraga, seni dan budaya, gue mendapati mereka bertransformasi dengan wajah baru. Robin Hood masih bergentayangan.

Tuntutan subyektif gue cuma satu: kesejahteraan bagi seluruh petani tembakau, para buruh dan konsumen. Konsumen di sini tidak terlalu diperhatikan kesejahteraannya, dia tanpa pernah disadarkan bahwa membeli produk mereka sama dengan kemiskinan. Sebenernya dengan harganya yang mahal harusnya mereka berpikir bahwa mereka akan menjadi miskin, atau bangsa kita ini kelewat terlalu bodoh untuk berpikir memakai otak?

Kalau ditarik jauh kembali, rokok bukanlah penyebab kemiskinan melanda bangsa ini. Rokok merupakan sebuah produk kelas berkantong tebal, jadi apalah arti rokok bila harganya murah? Apalah arti rokok bila bangsa ini terbebas dari kemiskinan? Jadi pada dasarnya bangsa ini saat sekarang belum sanggup membeli rokok sebungkus sehari.

*Mochammad IH adalah editor jurnal subyektif. Dia tak menempuh pendidikan formal.

Saturday, February 28, 2015

Bagaimana Bersikap Atas Isu Politik Nasional?

Oleh Mochammad IH

Kritis. Menurut wikipedia adalah pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kalo menurut gue sih ya sikap kritis itu bagaimana kita tidak menerima sebuah kabar secara bulat-bulat.

Nah sejauh pengalaman gue mengamati isu-isu politik, sering kali beberapa orang yang menerima bulat-bulat informasi--entah karena fanatisme atau emang pada dasarnya doi bigot-- mereka ini seringkali menyesal di akhir dan merasa ditipu mentah-mentah setelah sadar dengan dukungannya jatuh pada orang yang salah. Kemudian seiring waktu, para korban sebagian ada yang sudah pesimis kalo ditipu kembali, namun ada juga yang masih terjebak kembali pada lubang yang sama.

Gue termasuk orang yang sering terjebak pada lubang yang sama dalam bersikap pada isu politik. Semakin sadar bahwa tidak ada figur yang dapat di percaya dalam ranah politik--belakangan gue disadarkan bahwa mempercayakan pada figur adalah kesalahannya, tak ada yang bisa menyelamatkan kita kecuali kita sendiri. Sounds like punk.

Ya, tak ada yang bisa menolong diri kita kecuali diri kita sendiri. Kemandirian dan berpikir tentang apa pentingnya bagi kita adalah sikap kedua.

Baru-baru ini yang lagi hot sikap para anggota dewan yang setuju melakukan hak angket atas sikap gubernurnya--yang pada akhirnya sang gubernur bisa saja dimakzulkan, lalu sang gubernur ini terlihat membalas perlakuan para anggota dewan dengan melaporkan mereka ke KPK. Lalu para penonton ini pun langsung pro dan kontra, masing-masing mendukung salah satu pihak. Dan para pendukung ini adalah para calon korban yang tertipu dengan sandiwara figur.

Salah satu pertanyaan kritis yang gue dapet di social media: kalo memang korupsinya sejak tahun 2012, kenapa baru dilaporkan sekarang (2015)? Semoga pertanyaan ini bisa menjawab sebagian apa yang ingin gue sampaikan. Gue tinggal di salah satu kota kecil di Jawa Timur, ratusan kilometer jauhnya dari ibukota. Jadi buat apa mengurus isu di ibukota kalo tidak ada kepentingannya di kota yang gue tinggali?

Lalu sempat ada teori bahwa isu-isu yang dimainkan oleh para tokoh politik ini adalah sebuah pengalihan atas isu yang lebih besar. Dan para pemilik teori ini mengatakan bahwa isu-isu tentang penindasan penguasa terhadap kita adalah isu-isu yang harus kita pedulikan, karena kita memiliki rasa penderitaan yang sama sebagai orang-orang kecil yang tak memiliki kuasa politik.

*Mochammad IH adalah editor jurnal subyektif yang tak menempuhi pendidikan formal